Jumat, 05 Agustus 2011

Dibalik Tirai Kejailan part 2


Malam yang cerah, terangnya bulan mengiringi kebahagiaan yang tengah dilalui para siswa SMA yang baru selesai melaksanakn ujian nasional. Rheyzal, Adrian, Ibel dan rekan-rekan lainnya berembuk di rumah Sherly. Mengawali malam selepas ujian dengan helaan nafas lega setelah melewati tiga hari yang cukup mendebarkan.

Angel duduk di kursi plastik berhadapan langsung dengan meja. Di beranda rumah, omongan dan riuh canda  menghiasi suasana perkumpulan sahabat itu. “Sherly, buku tulis sama pena, ya”. Pinta Mom Esti, guru bahasa inggris sekaligus guru komputer mereka. Beliau bukan sebatas guru tetapi juga teman bagi mereka. 

Sesuai perencanaan beberapa hari sebelumnya, lusa mereka akan kemah di pantai pasir panjang, desa Tial. “mem, ini”, kata Sherly sambil menyerahkan pena dan buku tulisnya. Buku dan pena itu lantas diserahkan langsung kepada Angel. “oh ya, sini, sini..semuanya merapat kemari!” seru Angel pada semua teman-temannya. Nama-nama yang ingin ikut ke perkemahan langsung dicatat lengkap dengan pembagian barang dan bahan yang mesti dibawa tiap peserta kemah. 

Yang bawa beras, alat makan, dan alat masak sudah ditentukan. “udah dicatat nih. Trus, siapa lagi ya, yang belum kebagian,” kata Angel sambil masih menggenggam pena. “Ichan, lusa loe mau bawa apa,” tanya Sherly pada Ichan. Seraya tersenyum, Ichan mengguyon “kalau aku.., aku bawa diri saja.”  Mendengar itu sahabat-sahabatnya cengengesan.
Dari lorong yang remang datang seseorang berbadan tegap. Dari gaya jalan sudah ketahuan itu siapa. Arga dengan santainya melenggok. “Hai semuanya,” sapa Arga dengan senyum angkernya. “Sepertinya kalian sedang merencanakan sesuatu ?”, lanjut Arga sambil mengedarkan pandangannya. “iya, kita punya rencana kemah, kamu mau ikut ?”, Tanya Emon.
“yah, boleh, aku pengen ikut sama kalian,” “tapi harus nyumbang tiga puluh ribu untuk ongkos perjalanan, bisa?” “hah !?, yang benar ! mata Arga melotot. “Masak semahal itu, kalau aku dikasih gratis boleh kan, kalau kalian yang patungan, tanpa aku tambahi aku rasa ongkosnya pasti cukup!” ujar Arga ingin ikut tanpa ongkos. “tidak, belum cukup kok. Kita juga masih butuh tambahan duit buat ongkos makan yang nanti kita beli saat di perkemahan,” lanjut Sherly menuturkan.
“kalian ini gimana sih !, masak mau ikut kemah saja mesti bayar semahal itu” sergah Arga kesal. “mau refreshing kok ngeluh, bayaran mahal karena perjalannya juga jauh, kita mau nyewa mobil antar desa, terus kita butuh duit untuk pakan yang kita butuh selama tiga hari di sana. kamu mau, Cuma makan ranting pohon dan minumnya air laut !?”. ucap Emon mempertegas.
“hah !, daripada ngeluarin duit segitu, mending aku nggak usah ikut !”, keki Arga seraya pergi tanpa permisi dan menggerutu.
Semua heran.  Menyungging senyum lalu mengeryit saat melihat Arga datang dengan senyum tak terundang dan kepergiannya yang begitu saja. Tapi segera semua beralih ke perencanaan.
“Eee.., kalau yang mau mancing, silahkan bawa kail dan tali pancing. Sekalian biar kita mancing bareng” kata Mom Esti mengusulkan. Besok Mom ke sekolah ngambil surat rekomendasi untuk disampaikan kepada RT setempat calon lokasi perkemahan kita” lanjut Mom Esti.
“Yang nanti nyampein suratnya siapa, nggak mungkin, kan kita semua ke sana buat survei lokasinya, ya kita utus saja dua atau tiga orang ?,” usul Emon.

“Kita utus dua saja, kalau nggak kembali, nggak usah dicari, paling udah dikawinin sama warga desa sana” celetuk Rheyzal diikuti tawa semuanya.
“iya, siapa, ya ?. timpal Mom Esti serius. “Mon, kamu, yah?,” “ss..saya..,siip mem !,” tukas Emon tersenyum tipis. “satu lagi, siapa yang mau bareng Emon ke sana?”. Semua saling memandang. “aku, mem!,” seru Mardono mengajukan diri, dia salah satu teman yang sudah biasa menjalani kemah bersama pramuka. Tentunya berpengalaman memimpin perkemahan.

***

Siang mendung, Mom Esti dan beberapa murid terdekatnya berkumpul di rumah beliau. Surat rekomendasi yang beliau janjikan sudah dibawa oleh Emon dan Mardono ke desa Tial.
“udah berapa yang terkumpul, nih” “belum cukup mem” “ntar malam ongkosnya sudah harus terkumpul semuanya, biar kalau kedapatan kurang nanti mem tambahin”

Perbincangan mengenai apa yang mau dilakukan di perkemahan berlanjut. Namun tidak semuanya hadir. Sherly di rumahnya sedang menyiapkan bahan yang mau dibawa ke perkemahan besok. Bahan yang ia beli dari pasar, bahan mentah berupa ikan dan sayur yang langsung disimpan di lemari es. Mardono dan Emon tengah mensurvey lokasi yang akan ditempati, sementara yang lain entah ke mana tidak jelas. 

Perbincangan itu berlangsung hingga sore. Waktu sholat ke masjid. Tidur siang di rumahnya Mom Esti, seperti di rumah sendiri. Makan siang di situ juga, di rumahnya Mom Esti. Gratis tanpa omelan. Tapi siapa yang tahu dengan isi hati penghuni rumah yang sudah seringkali makanan rumah, nasi, ikan, kadang gula dan teh juga dihabiskan oleh mereka yang cuma datang membuat gaduh suasana rumah. Oma-nya Mom Esti tentunya yang paling repot. Sedikit-sedikit harus masak. Makanannya bukan habis karena dimakan anak-anak beliau. Tapi habis karena disantap rakus oleh siswanya Mom Esti. 

“hoii, bangun, sudah sore !” seru Ibel yang baru terbangun dari tidurnya sambil menggoyang tubuh sahabat-sahabatnya yang masih terlelap. Dengan mata berat Ibel menatap ke jam dinding. Waktu sholat sudah lewat rupanya. ia lalu berdiri dan melangkah keluar dari rumah Mom Esti menuju ke masjid yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumahnya Mom Esti.

Setelah shalat Ibel kembali. Ia dapati rumah Mom Esti sudah tak seperti saat ia keluar tadi. Para sahabat yang tadinya masih tidur sudah tampak santai di kursi tamu dengan wajah yang baru saja dibasuh untuk menghilangkan bekas tidur mereka. Teh hangat sore, pisang goreng, dan kerabat sorenya yaitu sukung goreng tampak telah disajikan di atas meja. Benar-benar mengenakan dan terlanjur keenakan bagi para siswa yang tengah menikmati libur panjang mereka ini. 

Jelang maghrib, mereka yang senang berkumpul itu pamit dan kembali ke rumah masing-masing. “mem, kita balik dulu ya, hmm.., makasih untuk sesajennya, eh, maksudku jamuannya,” celetuk rheyzal pada Mom Esti. “oma.., kita pulang dulu, ya !, seru Ichan menoleh ke oma yang hobi nonton sinetron. “hati-hati di jalan, ya.”

Malam itu tiba.
Perkumpulan sahabat itu kembali menyatu di rumah Sherly di waringin. “bahan yang sudah aku beli ada di kulkas,” kata Sherly sambil menatap ke Mom Esti. “yang lain, jangan bilang kalian nggak punya uang untuk besok!”, seru Sherly dengan nada mengancam. “tenang-tenang, fulus kita sudah siap sebelum kamu bangun tadi pagi,” cerocos Panji dari depan pintu rumahnya. Kebetulan ia bertetangga dengan Sherly. “duitnya, ayo dikumpulin sekarang!” sergah Sherly seraya mengacungkan catatan kemarin malam. “sher..!,” aries memanggil. cowok yang satu ini sering menjengkelkan sebab hobi main ingusnya dan meunjukannya di depan sahabatnya sendiri. “ya, kenapa ries..?,” maaf aku nggak bawa duit, besok aja, ya !?. “aku juga, sher. Besok baru aku dikasih duit sama ibuku,”. Seru beberapa orang dari mereka. Sherly hanya garuk-garuk kepala. 

“gini aja, besok sekitar jam sepuluh, kalian datang ke rumah ibu bawa uang kalian masing-masing, okay ?,” sela Mom Esti. “okay mem”. Jawab serempak yang belum bawa uang.
“awas, jangan sampai nggak datang, rencana sudah sejauh ini kalau batal, awas, ya!. Jangan datang-datang lagi ke rumah ibu!” ancam Mom Esti disebabkan kuatir jika mereka beralasan untuk tidak jadi kemah.

“maaf, semuanya. Aku besok nggak ikut, maklum…jaga toko,” imbuh dzay yang keluArganya punya toko bahan bangunan di dekat ambon plaza, toko Indosakti dan satu lagi di Perigilima. “di Indosakti, ya?” Tanya Ichan. “bukan, besok aku jaganya di toko Perigilima.
“dzay, kok gitu sih dzay, ayo.., minta izin, kita cuman tiga hari saja kok” “nggak bisa, aku sudah ngomong sama papaku tapi aku nggak diizinin, aku harus bantu-bantu di toko besok”
“hmmm…, siang hari kok takut toko kemalingan,” ucap Ibel asal. “heh !, siapa yang takut kemalingan, aku memang diminta jaga toko oleh papaku besok,” “ alasan..!, ayahmu nggak gaul ah, kayak nggak pernah muda saja”
“udah-udah, nggak usah dibahas, nggak apa-apa dzay, kita ngerti” sela Angel memotong perdebatan Ibel dan dzay.
“Mobilnya, siapa yang besok nyari carteran !?” Tanya Dora si cewek berbadan gempal nan gelap dan bersuara lantang tiba-tiba. “eh, iya ya,” Mom Esti dan Sherly menerawang. “kemarin Dono sama Emon sudah ngantar surat sekalian survey lokasi, kali ini.. rhey, mana rhey?.” Tanya Mom Esti sambil mensedekapkan tangannya.
“rheyzal di rumah, mem,” sahut beberapa orang saling mengikuti. “besok, rhey, mem tugaskan buat nyari carteran, Hmm… harus satu orang lagi nih yang jalan sama dia, siapa yang mau?”
“ini mem,” ucap dzay sambil menunjuk Ibel “besok tugas kamu dan rhey nyari carteran,” kata dzay meneruskan. 

“benar! kamu, kan partnernya rheyzal, sama-sama suka ngerjain orang” kejar baron yang matanya sayu dan tubuh selalu keringatan. “sekalian, rayu saja sopirnya, siapa tau kalian beruntung bisa nego ongkos murah buat perjalan kita besok” tambahnya. Ibel hanya mengerutkan dahi menerima omongan baron.

Di teras rumah Panji, Adrian dan beberapa teman lainnya tengah asyik main kartu remi. Di bawah pohon belimbing yudha menyendiri dan asyik menelpon. Selalu terlihat menelpon, entah dengan siapa dia ngobrol. Hingga pembicaraan di malam itu usai, mereka kemudian membubarkan diri.

***

Jam dinding menunjukkan jam 09.00 pagi. Handphone bergetar. Sms bertebaran saling mengingatkan agar bersiap-siap. Rheyzal dan Ibel sudah tiba di rumah Mom Esti. Emon juga sudah sampai lebih dulu.
“kalian berdua nyari carteran, ya” pinta Mom Esti. “tapi, mobil angkutan umum untuk ke Tial terminalnya di sebelah mana?,” Tanya Ibel yang belum pernah ke desa Tial. “aku tahu, tenang saja, masa terminalnya saja kamu nggak tahu,” ketus rheyzal langsung menggetok kepalanya Ibel. “itu loh, yang di batumerah dekat jembatan” jelas Mom Esti menimpali. Rheyzal setengah terkekeh. Merasa sakit digetok, Ibel langsung balas memukul punggung rheyzal.

Tanpa berlama-lama rheyzal dan Ibel langsung bergegas. “assalamu’alaikum” salam keduanya sambil mengenakan sendal. “rhey, nego ya, biar murahan dikit” pinta Mom Esti sebelum keduanya melangkah. “oke mom!”

Rheyzal dan Ibel melangkah keluar dari lorong sempit. Jalan raya tepat di hadapan keduanya. Menunggu angkutan kota jurusan batumerah dengan niat cepat sampai tujuan. Angkutan kota jurusan batumerah memang jarang lewat di jalan tempat rheyzal dan Ibel menunggu. Sebab ini memang jalur untuk angkutan kota jurusan talake. Merasa terlalu lama menunggu, keduanya memilih menaiki mobil jurusan talake. Perjalanan memakan waktu sekitar dua puluh menit untuk mencapai terminal mardika. Saat tiba di terminal mardika keduanya membayar empat ribu rupiah. Jadi, dua ribu per orang.

Terus berjalan melewati lorong-lorong pasar dan terminal. Kiri kanan lorong sesak dengan pedagang kakai lima ataupun kios-kios yang kian memadati terminal. Ditambahi dengan orang yang berlalulalang keluar masuk. Rheyzal dan Ibel terus mengobrol. Berpijak diatas jalan penuh becek. Banyak orang yang berjualan di pinggir jalan. Di jalan kecil yang bisaa dilalui kendaraan.  macet tak terabaikan.

Di depan puskesmas batu merah. Rheyzal dan Ibel belok ke kiri. Ada terminal yang dipadati mobil angkutan antar desa. Sambil mengusap rambutnya yang berapa kali pernah diluruskan dengan campuran krim deterjen dan kapur sirih sampai kulit kepalanya terkelupas itu, rheyzal menunjuk ke arah bArisan mobil yang tidak teratur. “itu, di sana angkutannya,” ujarnya pada Ibel.

Saat dekat dengan barisan mobil angkutan itu, keduanya langsung melihat-lihat mobil yang jumlah tempat duduknya diperkirakan bisa memuat teman-teman yang akan ikut kemah. Banyak mobil yang cukup untunk menampung menurut keduanya. Namun mobil-mobil itu banyak yang masih tertutup tanpa sopirnya. Entah ke mana mereka. 

Rheyzal dan Ibel terus menilik mobil mana yang mau dicarter. “coba yang ini, kebetulan  sopirnya ada di di dalam, tuh,” saran Ibel seraya menyentuh sebuah mobil. Keduanya mendekat ke depan. Mengajak bicara si sopir. “permisi, bang.” “iya, kenapa dik,” “hmm, kalau ke pantai pasir panjang pakai mobil abang, berapa ya, ongkosnya ?” “antar jemput atau antar saja?” “gini bang, kita mau adakan perkemahan di pantai pasir panjang, jadi kita inginnya kita nih, abang antar kita sore ini. Setelah itu nanti, lusa abang datang lagi jemput kita. gimana, bisa nggak, bang?” “bisa,” ongkos pakai mobil abang?” Tanya rheyzal mengenai biayanya perjalanan. Sejenak sopir diam. Rheyzal dan Ibel menunggu. “tiga ratus ribu,” kata sopir menetapkan harga.

Rheyzal memandang Ibel lalu kembali mendongak ke sopir yang masih sementara duduk di kemudinya. “dikurangi dikit dong, bang…dua ratus empat puluh, bang ya?” ucap Rheyzal menego. Si sopir kembali menawar. “itu terlalu rendah, dik. dua ratus tujuh puluh lima saja, ya dik”. Seraya tersenyum sambil celingak-celinguk  Rheyzal dan Ibel diam seolah tak menanggapi. “kalau gitu, dua ratus enam puluh. Bagaimana, dik. Mau nggak, saya juga susah cari duit, dik. Kalau dua ratus empat puluh ribu terlalu di bawah harga yang biasa kita terima untuk antar jemput ke desa Tial.” Kata si sopir seakan mengiba. Sopir dan dua anak jahil itu menghening. “iya, deh. Dua ratus enam puluh” timpal rheyzal menyetujui.

Kesepakatan antara dua pihak terjadi. Si sopir sebagai pemberi jasa dan rheyzal sebagai penawar ongkos untuk jasa tersebut. Sedang Ibel hanya tersenyum manggut-manggut dengan kejadian itu. Sebelum keduanya pergi, si sopir meminta nomor handphone yang bisa dihubungi agar bisa menetapkan jam dan tempat penjemputan. Rheyzal tidak bisa memberikan keterangan lebih jelas untuk waktu dan tempat penjemputan karena teman-temannya sering tidak pasti dengan rencana. Ibel mengeluarkan handphone-nya lalu mengeja nomor handphone-nya Mom Esti dan  kepada si sopir dan sebaliknya.

“makasih, ya bang! Nanti kalau kita sudah kumpul, langsung abang kita hubungi,” seru Ibel menjelaskan. Keduanya berlalu pergi. kali ini melewati pasar mardika lalu segera menuju ke terminal angkutan kota lin tiga. Lin tiga adalah jurusan angkutan umum dalam kota Ambon daerah bagian bawah atau yang biasa diteriakan ‘talake, talake, talake’ oleh para kernet dan sopir. Saat turun dari angkot Ibel dan rheyzal segera masuk ke lorong sempit yang mengarah ke rumah Mom Esti. Keduanya melapor sesuai keinginan bersama untuk tujuan ke perkemahan. Emon dan teman-teman yang telah ada langsung menghubungi teman-teman yang belum hadir. Direncanakan mobil carteran akan parkir di depan sekolah mereka, SMA Muhammadiyah Ambon. Jln OT. Mattipau. 

Berselang dua jam lebih setelah sholat dzuhur. Kira-kira pukul 14.00 waktu kota Ambon, sebagian sudah siap di depan sekolah. Mom Esti telah menghubungi si sopir. Dan dalam waktu hamper lima belas menit, mobil itu muncul dari tikungan jalan di talake. Mobil segera memutar dan memarkir tepat dekat trotoar depan sekolah. 



Adrian, Ibel, rheyzal, Dora, dan teman mereka lainnya mulai memasukkan barang bawaan mereka ke mobil. Sementara Ichan dan alan menunggu di toko raudah di depan ambon plaza. Sebab mereka mengambil beras dari toko itu yang kebetulan pemiliknya adalah keluarga alan. Mereka yang telah menanti di depan sekolah terus menghubungi mereka yang belum datang. Beginilah kebiasaan orang Indonesia. Susah tepat waktu. “mem, Angel, mem,” kata Sherly saat sampai di hadapan Mom Esti. “ada apa dengan Angel” “dia sepertinya tidak diizinkan pergi dengan kita,” ucap Sherly memberi tahu. “masa sih!?” sahut Mom Esti dengan raut kecewa. Teman lainnya juga terlihat seperti tidak bersemangat. Angel itu diibaratkan cahaya di dalam persahabatan mereka seperti yang pernah diungkapkan Aris saat masih dalam masa-masa belajar kelompok. Jadi, tidak ada enaknya jika dia tidak ikut dalam perkemahan itu.
Beberapa menit kemudian handphone Sherly berdering. Ada sms yang masuk. Rupanya sms itu datang dari Angel. 

Sherly, aku ingin ikut dengan kalian
 Tolong, kalau bisa kalian ramai-ramai datang
 ke rumahku dan meminta izin untukku
agar ayahku mau mengizinkan aku ikut dengan kalian,
please” 

Semua saling menatap. Berharap mau ikut bersama menjemput Angel di rumahnya. Mom Esti, Sherly, dan beberapa teman lainnya bergerak menuju rumah Angel. Ibel dan berapa teman lainnya menunggu di mobil. Ibel mondar-mandir lalu masuk mobil dan keluar lagi. Hari semakin sore dan mereka belum beranjak ke lokasi yang akan menjadi tempat perkemahan mereka. Beberapa orang mulai jenuh. Dan bersyukur saat jenuh itu mulai merangkak di kepala mereka, Mom Esti dan beberapa teman lainnya datang. Mereka membawa hasil, merpati cantik berhasil dikeluarkan dari sangkarnya. Angel yang dikelilingi teman-temannya datang dengan senyumnya yang memesona.
“aku ingin minta izin ke ayahku tapi baru mau minta izin, beliau malah masuk kamar dan tidur. Beliau sengaja melakukannya agar aku tak bisa izin dan ikut kalian,” Angel dengan segaris senyum menjelaskan. “ayo, semua masuk ke mobil, jangan terlalu membuang waktu di sini!” perintah Mom Esti. Semua bergerak. Barang bawaan yang tersisa di luar langsung dinaikkan ke atas kap mobil dan diikat melintang agar tidak jatuh saat mobil melaju. Rheyzal dan beberapa diantara mereka berebut ingin duduk di jok depan. Namun segera ditarik ke belakang dan Mom Esti yang diberi tempat duduk di jok depan. Setelah memeriksa kelengkapan yang dibawa dan peserta yang ikut, sopir langsung menyalakan mobilnya.