Malam yang cerah, terangnya bulan mengiringi kebahagiaan yang tengah dilalui para siswa SMA yang baru selesai melaksanakn ujian nasional. Rheyzal, Adrian, Ibel dan rekan-rekan lainnya berembuk di rumah Sherly. Mengawali malam selepas ujian dengan helaan nafas lega setelah melewati tiga hari yang cukup mendebarkan.
Angel duduk di kursi plastik berhadapan langsung dengan meja. Di beranda rumah, omongan dan riuh canda menghiasi suasana perkumpulan sahabat itu. “Sherly, buku tulis sama pena, ya”. Pinta Mom Esti, guru bahasa inggris sekaligus guru komputer mereka. Beliau bukan sebatas guru tetapi juga teman bagi mereka.
Sesuai perencanaan beberapa hari sebelumnya, lusa mereka akan kemah di pantai pasir panjang, desa Tial. “mem, ini”, kata Sherly sambil menyerahkan pena dan buku tulisnya. Buku dan pena itu lantas diserahkan langsung kepada Angel. “oh ya, sini, sini..semuanya merapat kemari!” seru Angel pada semua teman-temannya. Nama-nama yang ingin ikut ke perkemahan langsung dicatat lengkap dengan pembagian barang dan bahan yang mesti dibawa tiap peserta kemah.
Yang bawa beras, alat makan, dan alat masak sudah ditentukan. “udah dicatat nih. Trus, siapa lagi ya, yang belum kebagian,” kata Angel sambil masih menggenggam pena. “Ichan, lusa loe mau bawa apa,” tanya Sherly pada Ichan. Seraya tersenyum, Ichan mengguyon “kalau aku.., aku bawa diri saja.” Mendengar itu sahabat-sahabatnya cengengesan.
Dari lorong yang remang datang seseorang berbadan tegap. Dari gaya jalan sudah ketahuan itu siapa. Arga dengan santainya melenggok. “Hai semuanya,” sapa Arga dengan senyum angkernya. “Sepertinya kalian sedang merencanakan sesuatu ?”, lanjut Arga sambil mengedarkan pandangannya. “iya, kita punya rencana kemah, kamu mau ikut ?”, Tanya Emon.
“yah, boleh, aku pengen ikut sama kalian,” “tapi harus nyumbang tiga puluh ribu untuk ongkos perjalanan, bisa?” “hah !?, yang benar ! mata Arga melotot. “Masak semahal itu, kalau aku dikasih gratis boleh kan, kalau kalian yang patungan, tanpa aku tambahi aku rasa ongkosnya pasti cukup!” ujar Arga ingin ikut tanpa ongkos. “tidak, belum cukup kok. Kita juga masih butuh tambahan duit buat ongkos makan yang nanti kita beli saat di perkemahan,” lanjut Sherly menuturkan.
“kalian ini gimana sih !, masak mau ikut kemah saja mesti bayar semahal itu” sergah Arga kesal. “mau refreshing kok ngeluh, bayaran mahal karena perjalannya juga jauh, kita mau nyewa mobil antar desa, terus kita butuh duit untuk pakan yang kita butuh selama tiga hari di sana. kamu mau, Cuma makan ranting pohon dan minumnya air laut !?”. ucap Emon mempertegas.
“hah !, daripada ngeluarin duit segitu, mending aku nggak usah ikut !”, keki Arga seraya pergi tanpa permisi dan menggerutu.
Semua heran. Menyungging senyum lalu mengeryit saat melihat Arga datang dengan senyum tak terundang dan kepergiannya yang begitu saja. Tapi segera semua beralih ke perencanaan.
“Eee.., kalau yang mau mancing, silahkan bawa kail dan tali pancing. Sekalian biar kita mancing bareng” kata Mom Esti mengusulkan. Besok Mom ke sekolah ngambil surat rekomendasi untuk disampaikan kepada RT setempat calon lokasi perkemahan kita” lanjut Mom Esti.
“Yang nanti nyampein suratnya siapa, nggak mungkin, kan kita semua ke sana buat survei lokasinya, ya kita utus saja dua atau tiga orang ?,” usul Emon.
“Kita utus dua saja, kalau nggak kembali, nggak usah dicari, paling udah dikawinin sama warga desa sana” celetuk Rheyzal diikuti tawa semuanya.
“iya, siapa, ya ?. timpal Mom Esti serius. “Mon, kamu, yah?,” “ss..saya..,siip mem !,” tukas Emon tersenyum tipis. “satu lagi, siapa yang mau bareng Emon ke sana?”. Semua saling memandang. “aku, mem!,” seru Mardono mengajukan diri, dia salah satu teman yang sudah biasa menjalani kemah bersama pramuka. Tentunya berpengalaman memimpin perkemahan.
***
Siang mendung, Mom Esti dan beberapa murid terdekatnya berkumpul di rumah beliau. Surat rekomendasi yang beliau janjikan sudah dibawa oleh Emon dan Mardono ke desa Tial.
“udah berapa yang terkumpul, nih” “belum cukup mem” “ntar malam ongkosnya sudah harus terkumpul semuanya, biar kalau kedapatan kurang nanti mem tambahin”
Perbincangan mengenai apa yang mau dilakukan di perkemahan berlanjut. Namun tidak semuanya hadir. Sherly di rumahnya sedang menyiapkan bahan yang mau dibawa ke perkemahan besok. Bahan yang ia beli dari pasar, bahan mentah berupa ikan dan sayur yang langsung disimpan di lemari es. Mardono dan Emon tengah mensurvey lokasi yang akan ditempati, sementara yang lain entah ke mana tidak jelas.
Perbincangan itu berlangsung hingga sore. Waktu sholat ke masjid. Tidur siang di rumahnya Mom Esti, seperti di rumah sendiri. Makan siang di situ juga, di rumahnya Mom Esti. Gratis tanpa omelan. Tapi siapa yang tahu dengan isi hati penghuni rumah yang sudah seringkali makanan rumah, nasi, ikan, kadang gula dan teh juga dihabiskan oleh mereka yang cuma datang membuat gaduh suasana rumah. Oma-nya Mom Esti tentunya yang paling repot. Sedikit-sedikit harus masak. Makanannya bukan habis karena dimakan anak-anak beliau. Tapi habis karena disantap rakus oleh siswanya Mom Esti.
“hoii, bangun, sudah sore !” seru Ibel yang baru terbangun dari tidurnya sambil menggoyang tubuh sahabat-sahabatnya yang masih terlelap. Dengan mata berat Ibel menatap ke jam dinding. Waktu sholat sudah lewat rupanya. ia lalu berdiri dan melangkah keluar dari rumah Mom Esti menuju ke masjid yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumahnya Mom Esti.
Setelah shalat Ibel kembali. Ia dapati rumah Mom Esti sudah tak seperti saat ia keluar tadi. Para sahabat yang tadinya masih tidur sudah tampak santai di kursi tamu dengan wajah yang baru saja dibasuh untuk menghilangkan bekas tidur mereka. Teh hangat sore, pisang goreng, dan kerabat sorenya yaitu sukung goreng tampak telah disajikan di atas meja. Benar-benar mengenakan dan terlanjur keenakan bagi para siswa yang tengah menikmati libur panjang mereka ini.
Jelang maghrib, mereka yang senang berkumpul itu pamit dan kembali ke rumah masing-masing. “mem, kita balik dulu ya, hmm.., makasih untuk sesajennya, eh, maksudku jamuannya,” celetuk rheyzal pada Mom Esti. “oma.., kita pulang dulu, ya !, seru Ichan menoleh ke oma yang hobi nonton sinetron. “hati-hati di jalan, ya.”
Malam itu tiba.
Perkumpulan sahabat itu kembali menyatu di rumah Sherly di waringin. “bahan yang sudah aku beli ada di kulkas,” kata Sherly sambil menatap ke Mom Esti. “yang lain, jangan bilang kalian nggak punya uang untuk besok!”, seru Sherly dengan nada mengancam. “tenang-tenang, fulus kita sudah siap sebelum kamu bangun tadi pagi,” cerocos Panji dari depan pintu rumahnya. Kebetulan ia bertetangga dengan Sherly. “duitnya, ayo dikumpulin sekarang!” sergah Sherly seraya mengacungkan catatan kemarin malam. “sher..!,” aries memanggil. cowok yang satu ini sering menjengkelkan sebab hobi main ingusnya dan meunjukannya di depan sahabatnya sendiri. “ya, kenapa ries..?,” maaf aku nggak bawa duit, besok aja, ya !?. “aku juga, sher. Besok baru aku dikasih duit sama ibuku,”. Seru beberapa orang dari mereka. Sherly hanya garuk-garuk kepala.
“gini aja, besok sekitar jam sepuluh, kalian datang ke rumah ibu bawa uang kalian masing-masing, okay ?,” sela Mom Esti. “okay mem”. Jawab serempak yang belum bawa uang.
“awas, jangan sampai nggak datang, rencana sudah sejauh ini kalau batal, awas, ya!. Jangan datang-datang lagi ke rumah ibu!” ancam Mom Esti disebabkan kuatir jika mereka beralasan untuk tidak jadi kemah.
“maaf, semuanya. Aku besok nggak ikut, maklum…jaga toko,” imbuh dzay yang keluArganya punya toko bahan bangunan di dekat ambon plaza, toko Indosakti dan satu lagi di Perigilima. “di Indosakti, ya?” Tanya Ichan. “bukan, besok aku jaganya di toko Perigilima.
“dzay, kok gitu sih dzay, ayo.., minta izin, kita cuman tiga hari saja kok” “nggak bisa, aku sudah ngomong sama papaku tapi aku nggak diizinin, aku harus bantu-bantu di toko besok”
“hmmm…, siang hari kok takut toko kemalingan,” ucap Ibel asal. “heh !, siapa yang takut kemalingan, aku memang diminta jaga toko oleh papaku besok,” “ alasan..!, ayahmu nggak gaul ah, kayak nggak pernah muda saja”
“udah-udah, nggak usah dibahas, nggak apa-apa dzay, kita ngerti” sela Angel memotong perdebatan Ibel dan dzay.
“Mobilnya, siapa yang besok nyari carteran !?” Tanya Dora si cewek berbadan gempal nan gelap dan bersuara lantang tiba-tiba. “eh, iya ya,” Mom Esti dan Sherly menerawang. “kemarin Dono sama Emon sudah ngantar surat sekalian survey lokasi, kali ini.. rhey, mana rhey?.” Tanya Mom Esti sambil mensedekapkan tangannya.
“rheyzal di rumah, mem,” sahut beberapa orang saling mengikuti. “besok, rhey, mem tugaskan buat nyari carteran, Hmm… harus satu orang lagi nih yang jalan sama dia, siapa yang mau?”
“ini mem,” ucap dzay sambil menunjuk Ibel “besok tugas kamu dan rhey nyari carteran,” kata dzay meneruskan.
“benar! kamu, kan partnernya rheyzal, sama-sama suka ngerjain orang” kejar baron yang matanya sayu dan tubuh selalu keringatan. “sekalian, rayu saja sopirnya, siapa tau kalian beruntung bisa nego ongkos murah buat perjalan kita besok” tambahnya. Ibel hanya mengerutkan dahi menerima omongan baron.
Di teras rumah Panji, Adrian dan beberapa teman lainnya tengah asyik main kartu remi. Di bawah pohon belimbing yudha menyendiri dan asyik menelpon. Selalu terlihat menelpon, entah dengan siapa dia ngobrol. Hingga pembicaraan di malam itu usai, mereka kemudian membubarkan diri.
***
Jam dinding menunjukkan jam 09.00 pagi. Handphone bergetar. Sms bertebaran saling mengingatkan agar bersiap-siap. Rheyzal dan Ibel sudah tiba di rumah Mom Esti. Emon juga sudah sampai lebih dulu.
“kalian berdua nyari carteran, ya” pinta Mom Esti. “tapi, mobil angkutan umum untuk ke Tial terminalnya di sebelah mana?,” Tanya Ibel yang belum pernah ke desa Tial. “aku tahu, tenang saja, masa terminalnya saja kamu nggak tahu,” ketus rheyzal langsung menggetok kepalanya Ibel. “itu loh, yang di batumerah dekat jembatan” jelas Mom Esti menimpali. Rheyzal setengah terkekeh. Merasa sakit digetok, Ibel langsung balas memukul punggung rheyzal.
Tanpa berlama-lama rheyzal dan Ibel langsung bergegas. “assalamu’alaikum” salam keduanya sambil mengenakan sendal. “rhey, nego ya, biar murahan dikit” pinta Mom Esti sebelum keduanya melangkah. “oke mom!”
Rheyzal dan Ibel melangkah keluar dari lorong sempit. Jalan raya tepat di hadapan keduanya. Menunggu angkutan kota jurusan batumerah dengan niat cepat sampai tujuan. Angkutan kota jurusan batumerah memang jarang lewat di jalan tempat rheyzal dan Ibel menunggu. Sebab ini memang jalur untuk angkutan kota jurusan talake. Merasa terlalu lama menunggu, keduanya memilih menaiki mobil jurusan talake. Perjalanan memakan waktu sekitar dua puluh menit untuk mencapai terminal mardika. Saat tiba di terminal mardika keduanya membayar empat ribu rupiah. Jadi, dua ribu per orang.
Terus berjalan melewati lorong-lorong pasar dan terminal. Kiri kanan lorong sesak dengan pedagang kakai lima ataupun kios-kios yang kian memadati terminal. Ditambahi dengan orang yang berlalulalang keluar masuk. Rheyzal dan Ibel terus mengobrol. Berpijak diatas jalan penuh becek. Banyak orang yang berjualan di pinggir jalan. Di jalan kecil yang bisaa dilalui kendaraan. macet tak terabaikan.
Di depan puskesmas batu merah. Rheyzal dan Ibel belok ke kiri. Ada terminal yang dipadati mobil angkutan antar desa. Sambil mengusap rambutnya yang berapa kali pernah diluruskan dengan campuran krim deterjen dan kapur sirih sampai kulit kepalanya terkelupas itu, rheyzal menunjuk ke arah bArisan mobil yang tidak teratur. “itu, di sana angkutannya,” ujarnya pada Ibel.
Saat dekat dengan barisan mobil angkutan itu, keduanya langsung melihat-lihat mobil yang jumlah tempat duduknya diperkirakan bisa memuat teman-teman yang akan ikut kemah. Banyak mobil yang cukup untunk menampung menurut keduanya. Namun mobil-mobil itu banyak yang masih tertutup tanpa sopirnya. Entah ke mana mereka.
Rheyzal dan Ibel terus menilik mobil mana yang mau dicarter. “coba yang ini, kebetulan sopirnya ada di di dalam, tuh,” saran Ibel seraya menyentuh sebuah mobil. Keduanya mendekat ke depan. Mengajak bicara si sopir. “permisi, bang.” “iya, kenapa dik,” “hmm, kalau ke pantai pasir panjang pakai mobil abang, berapa ya, ongkosnya ?” “antar jemput atau antar saja?” “gini bang, kita mau adakan perkemahan di pantai pasir panjang, jadi kita inginnya kita nih, abang antar kita sore ini. Setelah itu nanti, lusa abang datang lagi jemput kita. gimana, bisa nggak, bang?” “bisa,” ongkos pakai mobil abang?” Tanya rheyzal mengenai biayanya perjalanan. Sejenak sopir diam. Rheyzal dan Ibel menunggu. “tiga ratus ribu,” kata sopir menetapkan harga.
Rheyzal memandang Ibel lalu kembali mendongak ke sopir yang masih sementara duduk di kemudinya. “dikurangi dikit dong, bang…dua ratus empat puluh, bang ya?” ucap Rheyzal menego. Si sopir kembali menawar. “itu terlalu rendah, dik. dua ratus tujuh puluh lima saja, ya dik”. Seraya tersenyum sambil celingak-celinguk Rheyzal dan Ibel diam seolah tak menanggapi. “kalau gitu, dua ratus enam puluh. Bagaimana, dik. Mau nggak, saya juga susah cari duit, dik. Kalau dua ratus empat puluh ribu terlalu di bawah harga yang biasa kita terima untuk antar jemput ke desa Tial.” Kata si sopir seakan mengiba. Sopir dan dua anak jahil itu menghening. “iya, deh. Dua ratus enam puluh” timpal rheyzal menyetujui.
Kesepakatan antara dua pihak terjadi. Si sopir sebagai pemberi jasa dan rheyzal sebagai penawar ongkos untuk jasa tersebut. Sedang Ibel hanya tersenyum manggut-manggut dengan kejadian itu. Sebelum keduanya pergi, si sopir meminta nomor handphone yang bisa dihubungi agar bisa menetapkan jam dan tempat penjemputan. Rheyzal tidak bisa memberikan keterangan lebih jelas untuk waktu dan tempat penjemputan karena teman-temannya sering tidak pasti dengan rencana. Ibel mengeluarkan handphone-nya lalu mengeja nomor handphone-nya Mom Esti dan kepada si sopir dan sebaliknya.
“makasih, ya bang! Nanti kalau kita sudah kumpul, langsung abang kita hubungi,” seru Ibel menjelaskan. Keduanya berlalu pergi. kali ini melewati pasar mardika lalu segera menuju ke terminal angkutan kota lin tiga. Lin tiga adalah jurusan angkutan umum dalam kota Ambon daerah bagian bawah atau yang biasa diteriakan ‘talake, talake, talake’ oleh para kernet dan sopir. Saat turun dari angkot Ibel dan rheyzal segera masuk ke lorong sempit yang mengarah ke rumah Mom Esti. Keduanya melapor sesuai keinginan bersama untuk tujuan ke perkemahan. Emon dan teman-teman yang telah ada langsung menghubungi teman-teman yang belum hadir. Direncanakan mobil carteran akan parkir di depan sekolah mereka, SMA Muhammadiyah Ambon. Jln OT. Mattipau.
Berselang dua jam lebih setelah sholat dzuhur. Kira-kira pukul 14.00 waktu kota Ambon, sebagian sudah siap di depan sekolah. Mom Esti telah menghubungi si sopir. Dan dalam waktu hamper lima belas menit, mobil itu muncul dari tikungan jalan di talake. Mobil segera memutar dan memarkir tepat dekat trotoar depan sekolah.
Adrian, Ibel, rheyzal, Dora, dan teman mereka lainnya mulai memasukkan barang bawaan mereka ke mobil. Sementara Ichan dan alan menunggu di toko raudah di depan ambon plaza. Sebab mereka mengambil beras dari toko itu yang kebetulan pemiliknya adalah keluarga alan. Mereka yang telah menanti di depan sekolah terus menghubungi mereka yang belum datang. Beginilah kebiasaan orang Indonesia. Susah tepat waktu. “mem, Angel, mem,” kata Sherly saat sampai di hadapan Mom Esti. “ada apa dengan Angel” “dia sepertinya tidak diizinkan pergi dengan kita,” ucap Sherly memberi tahu. “masa sih!?” sahut Mom Esti dengan raut kecewa. Teman lainnya juga terlihat seperti tidak bersemangat. Angel itu diibaratkan cahaya di dalam persahabatan mereka seperti yang pernah diungkapkan Aris saat masih dalam masa-masa belajar kelompok. Jadi, tidak ada enaknya jika dia tidak ikut dalam perkemahan itu.
Beberapa menit kemudian handphone Sherly berdering. Ada sms yang masuk. Rupanya sms itu datang dari Angel.
“Sherly, aku ingin ikut dengan kalian
Tolong, kalau bisa kalian ramai-ramai datang
ke rumahku dan meminta izin untukku
agar ayahku mau mengizinkan aku ikut dengan kalian,
please”
Semua saling menatap. Berharap mau ikut bersama menjemput Angel di rumahnya. Mom Esti, Sherly, dan beberapa teman lainnya bergerak menuju rumah Angel. Ibel dan berapa teman lainnya menunggu di mobil. Ibel mondar-mandir lalu masuk mobil dan keluar lagi. Hari semakin sore dan mereka belum beranjak ke lokasi yang akan menjadi tempat perkemahan mereka. Beberapa orang mulai jenuh. Dan bersyukur saat jenuh itu mulai merangkak di kepala mereka, Mom Esti dan beberapa teman lainnya datang. Mereka membawa hasil, merpati cantik berhasil dikeluarkan dari sangkarnya. Angel yang dikelilingi teman-temannya datang dengan senyumnya yang memesona.
“aku ingin minta izin ke ayahku tapi baru mau minta izin, beliau malah masuk kamar dan tidur. Beliau sengaja melakukannya agar aku tak bisa izin dan ikut kalian,” Angel dengan segaris senyum menjelaskan. “ayo, semua masuk ke mobil, jangan terlalu membuang waktu di sini!” perintah Mom Esti. Semua bergerak. Barang bawaan yang tersisa di luar langsung dinaikkan ke atas kap mobil dan diikat melintang agar tidak jatuh saat mobil melaju. Rheyzal dan beberapa diantara mereka berebut ingin duduk di jok depan. Namun segera ditarik ke belakang dan Mom Esti yang diberi tempat duduk di jok depan. Setelah memeriksa kelengkapan yang dibawa dan peserta yang ikut, sopir langsung menyalakan mobilnya.
Beberapa jarak mobil meninggalkan sekolah. Dan ketika melewati toko perigilima, mereka justru meneriaki Dzay agar ia melihat dan iri tidak bisa ikut perkemahan. Kemudian semua melihat ke belakang dan tampaklah dzay keluar dari toko perigilima seraya memandang ke mobil carteran itu dengan senyum yang menutup kekecewaannya.
Abdul, teman sekelas Panji, Sherly, Mardono, dan juga Angel itu mulai memegang gitar dan siap mengkomandani para peserta kemah di mobil untuk bernyanyi. Perjalanan mulai terasa menyenangkan ketika semua bernyanyi. Adzan ashar berkumandang. Semua tetap menikmati perjalanan. “bang, kita lewat di depan pasar lama, ya. Soalnya ada yang nunggu di depan sebuah toko di sekitar situ”. Mom Esti memberi tahu si sopir. Mobil mulai belok kanan di depan jalan masuk menuju pelabuhan yosudarso. Di dalam mobil suara tawa dan canda ria anak-anak sma itu memenuhi ruang mobil yang mereka tumpangi.
Ambon Plaza terlihat. Semakin dekat, agak sedikit terhambat dengan angkot lain yang juga sedang mencari calon penumpang. Alan dan Ichan tampak berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Alan dalam posisi menelpon. Ia sementara berkomunikasi dengan Sherly untuk mengetahui sampai di mana mobil yang di tumpangi teman-temannya. Di depan sebuah toko milik keluarganya Alan keduanya terlihat menerawang ke arah deretan mobil yang saling mengikuti. Beberapa teman langsung memanggil mereka berdua. Mobil berhenti sejenak. Sambil menenteng sekantung beras, Ichan dan Alan berlari menuju mobil.
Setengah jam perjalanan.
Kini mobil memasuki desa Tial. Mardono mengambil gitar dari tangan Abdul. Nyanyian terus diungkapkan oleh beberapa dari mereka. Dan sebagian lain lagi tengah tertidur. Ibel merasa asing melihat pemandangan yang ditemui di sekitar perjalanan itu. Wajar karena ini pertama kalinya ia melewati pedesaan dan jalan yang akan membawanya bersama teman-temannya menuju ke desa Tial.
*
Deru mesin mobil terhenti. Pepohonan yang terasa berlari kencang ke belakang saat perjalanan terhenti dari pandangan mereka. “Emon!, tolong yang ini” seru Dono dari atas mobil pada Emon agar mengambil tenda yang diulurkan Dono. Tidak ada yang berjalan tanpa menenteng apapun. Semua barang mesti dibawa masing-masing teman. Mereka mulai menuruni jalan yang agak cekung ke pantai.
Satu persatu diantara mereka meletakkan barang bawaan mereka. Sebagian lagi masih berusaha perlahan menuruni bebatuan dan gembulan tanah yang mudah tergerus. Beberapa menit setelah semua sibuk dengan barang bawaan mereka, arven muncul diantar motor ojek. Semua sedikit terkejut melihatnya karena awalnya mereka mengira ia tidak akan ikut ke perkemahan. Ia hanya membawa plastic kresek berisi pakaian ganti. Kiranya ia akan berenang di pantai pasir panjang juga.
“kita dirikan tendanya di sini atau di sebelah mana?” Tanya Mardono seraya menoleh ke bawah mencari-cari sesuatu. Yang lain hanya mengiyakan ucapan Mardono. Nampak samurai milik rheyzal yang sudah karatan ditaruhnya di atas sebuah lantai semen bekas pos jaga di daerah itu. “ada yang bawa lilin atau lentera,? Di sini pasti sangat gelap ketika malam” Tanya lagi Mardono dan semua temannya merespon tidak ada. Atas permintaan Mardono yang lebih paham mengenai urusan perkemahan, teman-temannya segera berpencar mencari botol ataupun kaleng yang bisa dijadikan pelita. Namun setelah botol ditemukan, justru mereka terkendala dengan tidak adanya sumbu yang akan dipakai untuk menghidupkan api. Botol pun dibuang.
Di belakang, Ichan memegang samurai karatan. Entah bagaiaman ketika yudi menariknya dari tangan Ichan, tangan Ichan langsung terluka. Padahal samurai itu dipegang terbalik. Bukan pada bagiannya yang tajam. Keduanya terkejut hampir tidak percaya. Tangan Ichan lekas dibalut hingga darahnya berhenti menetes.
Tiba-tiba datang Emon dari arah timur. “sebaiknya tenda dan semua barang kalian diangkat, aku sudah temukan tempat yang cocok untuk kita, di bawah pohon lho. Dekat lagi dengan pantai” ujar Emon semangat. Dengan segera mereka bergerak dengan barang yang mereka bawa ke tempat yang diusulkan Emon. Mereka menuruni bebatuan terjal dan sampai ke pantai, beberapa diantara mereka berlarian ke tepi pantai dan membasahi kaki mereka dengan air laut. kampungan!
Di bawah pohon yang tidak begitu rindang. Mom Esti memerintahkan siswa-siswinya itu meletakkan semua barang jadi satu dan segera membangun tenda. “tasnya di taruh di sini,” perintah Mom Esti sambil menunjuk ke bawah. Sementara Dono membuka tas tenda dan mendirikan dua tenda di bawah pohon. “tali mana, tali?, kayu untuk patoknya juga tolong dicari,” seru Dono kepada semua temannya. Beberapa menit berjalan. Tenda telah siaga. Semua tas dimasukkan ke dalam tenda itu. Kompor dan alat masak lainnya diletakkan di luar dekat tenda.
Ibel, Emon, Angel dan dua teman lagi berjalan menuju ke ujung pantai. Sambil menggelar terpal di atas pasir “Ibel, sebaiknya kita wudhu sekarang, keburu maghrib nih. Kita, kan belum shalat ashar.” Ucapan Emon mengingatkan Ibel dan yang lain. Rheyzal, Ibel berserta lainnya bergegas menghampiri bibir pantai dan berwudhu. Mereka ingin menggunakan air tawar namun tempat untuk air tawar yang bisaa dipakai umum di desa Tial ini cukup jauh dari tempat perkemahan.
Langit agak mendung. Angin menerpa kencang. Shaf telah terkonsentrasi pada gerakan dan bacaan shalat. Pasir terbawa angin ke atas terpal yang sedang dijadikan sajadah pengganti. Namun itu tidak mengusik ketenangan mereka beribadah. Lima menit berselang, salam dan doa dipanjatkan. Shaf bubar dan terpal yang dijadikan pengganti sajadah itu dilipat kembali kemudian diboyong ke tenda untuk dijadikan alas duduk peserta kemah.
Mom Esti dan beberap siswi meninggalkan tenda sementara untuk pergi ke salah satu rumah warga desa Tial. Handphone yang baterei-nya mulai lowbet juga diangkut mereka untuk di-charg. Rumah warga yang didatangi adalah salah satu kediaman seorang siswa yang juga bersekolah di Sma Muhammadiyah Ambon. Fitri namanya. Dan itu juga sudah setujui Fitri dan keluarganya bahwa ada guru dan teman-teman sekolahnya yang akan berkunjung ke rumah mereka dalam beberapa hari ini.
Cukup lama mereka meninggalkan perkemahan. Saat maghrib mereka telah kembali. Pastinya dengan handphone teman-teman yang cuma sebagian penuh batereinya karena singkatnya waktu dan jumlah handphone yang melebihi jumlah colokan listrik di rumah Fitri. Penampilan mereka terlihat segar. Mereka mandi di rumah Fitri. Sedang yang lain merasa pengap lalu mengambil perlengkapan mandi dan berlalu ke sumur yang letaknya tidak begitu jauh dari tenda mereka berdiri. “ahaiii!, aku duluan, ya.” Teriak Emon. “dari belakang beberapa teman menyusul. “Emon!, sabunmu aku pinjam juga, ya. masalahnya aku lupa bawa sabun!” teriak Panji lalu Emon mengangguk cemberut seolah akan terjangkit rabies.
Setelah mandi, Ibel, Panji, dan Emon melaksanakan shalat maghrib. Sedang sebagian lain sibuk di dalam tenda mencari alat makan. Angel, dan tiga gadis lainnya yang saat itu mereka sebut three Angel ; Dora, Nina, dan Ida menyiapkan makanan untuk makan malam. Usai shalat magrib mereka yang dipimpin Mom Esti saling bertukar cerita dan bersenda gurau seperti biasa. Situasi yang gelap. Hanya bertemankan angin malam, nyanyian ombak, dan sebuah pelita sebagai penerang bantuan. Dari arah timur tampak rumah-rumah warga di pinggiran pantai yang dihiasi temaram.
Selepas isya, makanan yang baru saja dimasak langsung dituangkan diatas belanga. Mie instant juga disiapkan di atas gelaran terpal. Dalam suasana kebersamaan dan makanan yang masih panas menambah kehangatan persahabatan antara sesama siswa dan siswa dengan guru. Tiupan angin kencang pun tak diperdulikan.
Serasa tidak ada yang mau beranjak dari kebersamaan itu. “tadi, saat kita ke rumah Fitri keluarganya berpesan jika barang-barang bawaan kita harus dijaga baik-baik, masalahnya banyak pengalaman yang terjadi ketika berkemah di sini, tas atau handphone dicuri saat mereka tidur. Jadi, setelah ini tas kalian, kalian keluarkan dari tenda dan kalian jadikan saja tas kalian sebagai bantal,” pesan Mom Esti menurut yang beliau terima dari keluarga Fitri. Cerita demi cerita pun ditorehkan dalam bait-bait kesejukan malam yang datang dan menyunting persahabatan tiada tara.
Kehangatan di dalam kebersamaan itu terus berlanjut kala malam makin mengalir. Di tengah berembuknya mereka, tiba-tiba saja Ibel berdiri dan berlari kencang menuju ke bibir pantai agak jauh dari perkemahan. Ia berdiri di tepi pantai untuk menghirup udara malam dari dekat pantai. Tapi Mom Esti mengira ia kesurupan sehingga Emon dan Ichan segera berlari mengejarnya.
Saat mereka mendekati Ibel, “Ibel, kamu kenapa?” “nggak, aku Cuma mau menghirup udara malam dari sini!” “kamu ini ada-ada saja, jangan bikin kuatir, dong! Cepat sana, Mom Esti memintamu kembali ke tenda,” kata Emon atas kekuatirannya. Saat akan beranjak dari tempatnya berdiri, Ibel merasakan sesuatu yang agak lembek di bawah kakinya. Ia sadar betul yang diinjaknya bukanlah ubur-ubur atau makhluk laut lainnya. Ibel melangkah sambil perlahan menggesek-gesekan kakinya di pasir basah agar Emon dan Ichan tidak curiga kalau ia baru saja menginjak kotoran manusia.
Melanjutkan waktu dengan bermain kartu. Angel dan beberapa temannya berkonsentrasi pada masing-masing kartunya. Si manis ini ternyata pandai main kartu juga. Baron menemani dengan petikan gitar tidak keruan nadanya. Ia menyanyikan lagu yang tidak jelas dari mana asalnya. Ia menyebut-nyebut nama Angel dalam nyanyi keruhnya. Hingga pekat malam semakin merayu untuk tidur. Angel terbaring pulas diantara teman lelakinya. Dia sangat percaya bila teman-temannya akan selalu melindunginya selama ia tidur. Ibel, Emon, dan Rheyzal masih terjaga. Emon disuruh Rheyzal agar segera tidur. Ibel dan Rheyzal merencanakan sesuatu yakni bersiaga menjaga agar tidak kemalingan seperti yang ditakutkan.
Ibel dan Rheyzal duduk bersila di samping tenda perempuan. Pelita di dalam tenda itu dimatikan. Lebih kurang sepuluh menit kemudian terdengar kertak dahan kering dari semak-semak. “Rhey, kamu dengar itu. Sepertinya yang kita tunggu sedang kemari” bisik Ibel sambil mengedarkan pandangan ke dalam semak belukar yang gelap gulita. Ibel menyiapkan batu seukuran kelereng di ketapelnya. Rheyzal mulai memegang samurainya. Kemudian terdengar lagi kertak dahan dari arah lain. Berarti ada dua maling yang memburu mereka.
Dari arah semak belukar sekejap muncul sulutan api. Lalu disusul seberkas cahaya merah api yang terang sebentar lalu redup lagi. Rheyzal dan Ibel mengawasi tanpa menoleh. Seorang yang akan bertindak jahat itu sedang merokok tanpa menyadari keberadaan Rheyzal dan Ibel hanya sekitar enam meter darinya. Berani atau tidak. Jika maling itu nekat maju ke terpal perlengkapan mereka terletak. Maka rheyzal dan Ibel pun akan bertindak nekat pada si maling itu.
Handphone Ibel tiba-tiba bergetar di tangan Ibel. Cahaya yang dipancarkan dari handphone memberitahukan keberadaan keduanya pada seseorang di semak belukar itu. Lantas saja secepat langkah sang maling mengurungkan niatnya dan menghilang dari pengintaiannya. Keduanya kecewa bercampur kesal atas sms yang dikirimkan Emon. Ia sudah diperintahkan tidur dengan yang lain. Tapi malah menunggu dan mengirim sms yang sangat tidak penting untuk diketahui karena Ibel dan Rheyzal sendiri sudah tahu dan melihat semua anggota kemah tidur selain dia.
Isi sms itu,
Ibel, anak-anak sudah pada tidur, nih.
Kalian bagaimana?
Ibel dan Rheyzal beranjak dari tempat mereka berjaga. Emon baru mulai merebah untuk tidur. Rheyzal menyusul segera terbaring. Suasana hening. Hanya terdengar pekikan cerewetnya jangkrik. Ia memperhatikan semua peserta kemah satu demi satu. Mereka tertidur pulas. Ibel mengitarkan pandangannya ke sekeliling perkemahan mewaspadai kalau-kalau ada orang tak dikenal menyatroni perkemahan.
Mata ibel tertuju pada seseorang. Ia ingin memastikan gadis itu aman di samping teman-teman lelakinya. Gadis itu begitu terlihat memesona. Ia bagaikan seorang ratu yang terlelap diantara pengawal-pengawal yang setia menjaganya. Ia percaya bila teman-temannya tidak akan macam-macam selama ia tidur didampingi mereka. Lembut, manis, mungil, dan satu lagi, tembem. Andai ia boneka barangkali semua orang ingin memilikinya, lalu memeluk dan mencubitnya karena menggemaskan. Tapi, dia manusia. Jangankan dipeluk, kalau mau dicubit berpikir dulu bagi yang mau mencubit. Karena bila dilakukan oleh orang yang tidak tepat, maka tidak disangkal bila terjadi hubungan arus pendek dalam situasi itu, singkatnya rusuh.
***
Ibel terbangun. Ia menekan pad handphone-nya yang sedang standy by untuk memastikan jam berapa itu. Waktu menunjukkan 06.00. waktu sholat subuh sudah lewat. Ia bergegas membangunkan Emon dan teman lainnya agar segera sholat subuh. Pagi yang menyejukkan itu mengundang sejuta kebahagiaan. Kbahagiaan yang patut untuk dicicipi bersama senyuman dari orang-orang yang dicintai dan disayangi, yaitu persahabatan yang tiada lekang oleh leburan waktu.
Sarapan telah disediakan. Siapapun diantara mereka tidak mau ketinggalan. Masing-masing dari mereka menyodorkan gelas untuk diseduhkan teh. Kembali ke cerita seperti biasanya. Dihiasi canda tawa dan guyonan yang berlebihan. Sherly dan Angel yang menjadi koki pagi itu senyam-senyum dengan kebisaaan sahabat mereka. “maaf, ya. kita masaknya jadi lama karena kompornya cuman satu dan minyaknya juga sudah berkurang.” Kata Sherly mohon pengertian. “ini gara-gara kita tidak menunggu Kimon, dia kan pengen ikut juga. Dia sudah bersedia menyiapkan minyak tanah, tapi tidak satu pun dari kita yang menjemputnya, jadinya begini, deh” sambung Abdul sambil memetik gitar di pangkuannya.
Di akhir sarapan Alan dan Rheyzal cepat-cepat ingin pergi. “heh!, mau kemana?, antarkan dulu bekas minum kalian ke sumur untuk dicuci.” Perintah Mom Esti. Beberapa diantara mereka sudah masuk tenda dan mengganti pakaian mereka dengan pakaian yang mau mereka gunakan untuk berenang. Semua pun berlari ke ujung pantai pasir panjang. Namun three Angel dan Mardono tidak ikut, mereka memilih untuk tetap di tenda. Ibel, Panji, Rheyzal, Adrian, dan lainnya mulai menceburkan diri ke laut. Sedang Aris, Emon, dan Abdul bermain-main di atas pasir. Aris berbaring sambil ditaburi pasir hingga seluruh tubuhnya terkubur. Hanya kepala yang masih terlihat. Shany, si tomboy yang juga ikut ke perkemahan itu tidak ingin berdiam diri. Ia juga ikut melompat ke laut. Rheyzal terlihat berenang agak jauh. Mereka mulai bermain kejar-kejaran. Hingga berenang menjadi cara satu-satunya untuk menghindari kejaran. Emon yang tidak tahu berenang diseret paksa ke air.
Karena melihat teman-temannya sejak tadi telah beraksi di laut, Aris pun tidak mau kalah. Sejenak ia melihat air setinggi leher sahabat-sahabatnya yang tengah berdiri tenang di air. Tanpa memeriksa ia langsung terjun dengan cepat ke dalam air persis dekat area sahabat-sahabatnya berdiri. Beberapa jenak ia tertahan di dalam air. Saat muncul ke permukaan, “Aris, kenapa kamu!?” Tanya Emon. “aku nggak apa-apa. Mengapa kau bertanya begitu padaku?” Tanya Aris kembali dengan raut bingung. Kemudian rheyzal menyahut, “itu mukamu, berdarah.” Aris lalu meraba mukanya. Ketika merasa wajahnya perih dan melihat darah di tangannya, Aris langsung mengomel, “ini gara-gara kalian nggak bilang-bilang!, aku kira di tempat kalian berdiri itu airnya dalam, aku lihat airnya setinggi leher kalian. Makanya aku langsung terjun karena kukira di situ airnya memang dalam. Tapi, rupanya kalian sedikit menjongkok sampai terlihat dalam, huh!”
Tawa terkekeh muncul dari wajah-wajah sahabatnya. Jidat dan hidungnya tergores pasir dan karang kecil. Darah merembes pelan dari lukanya, namun ia mengacuhkannya karena merasa asyik dengan situasi. “lho, kok mukamu berdarah, Ris?” tanya Mom Esti yang baru memperhatikan. Di samping beliau Angel dan Sherly tertawa kecil. “biasalah, Mom. Aris kan sering nggak minta izin kalau masuk rumah orang, nah…! Pagi ini dia juga nggak izin dulu sebelum terjun ke laut. Akhirnya, sewaktu sampai di dasar laut ia malah disambut hangat dengan kecupan mesra dari bebatuan di bawah sini.” Celetuk Ibel meledek.
Hampir setengah jam berlalu. Dingin telah membalut tubuh remaja-remaja yang bersahaja dan bersahabat itu. Mereka saling mengajak untuk meninggalkan laut yang mereka renangi. Semuanya berjalan menyusuri pantai. Setelah itu berlalri ke tenda dan menyeret tas masing-masing untuk mengambil peralatan mandi yang sudah ada. Sumur pun nampak ramai.
Kurang lebih setengah jam setelah mereka selesai dari sumur. Ada yang berkejar-kejaran, ada yang duduk memainkan gitar, ada yang menyibukkan diri dengan mengintip ransum yang dibawa Adrian karena kebetulan ayah Adrian adalah seorang polisi. Jadi Adrian membawa sekarton ransum yang belum diapa-apakan oleh ayahnya.
***
Shalat dzuhur telah dilewati. Hanya beberapa dari mereka yang shalat. Yang lainnya hanya bermalas-malasan. “Sherly, korek apinya aku pinjam, ya” ujar Aris sambil memungut korek api yang terletak dekat kompor. Sherly hanya diam tidak berkomentar. Aris merobek karton dan mengambil sekaleng ransum dan mulai merebusnya.
Sahabat-sahabatnya yang tengah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing langsung berbalik arah ke Aris. Tanpa dikomando semua langsung menghambur pada karton lalu berebut mengambil ransum yang tinggal beberapa kaleng. Aris juga cekatan mengambil se-sachet minuman berjelly sebelum ia tidak punya kesempatan mengambilnya. Se-sachet untuk minuman pencuci mulut setelah makan siang.
Adrian yang tadinya asyik sendiri. Kini mendapati karton yang dibawanya dari rumah telah kosong. “hmm?, kalian gimana sih!, semuanya kok diembat. Sisakan satu dong buat makan malam kita.” Jeritan Adrian tak diperdulikan. Mereka baru saja selesai berenang tadi pagi. Dan pastinya saat berenang energi mereka telah terkuras separo dan perut mereka tentu menjerit minta diisi lagi. Dan saatnya telah tiba untuk semua ransum dieksekusi.
Mau tak mau ransum yang jumlahnya tidak sebanding dengan mereka, harus dibagi per kalengnya beberapa orang. Sahabat ya sahabat. Berbagi itu indah. “kalau makan atau apapun itu kita harus berbagi.” Kata Emon sambil menyuap sesendok semur daging ke mulutnya. “begitu juga bila suatu saat kita telah berkeluarga, kita harus saling bertukar istri per minggu” lanjutnya mengguyon. Sahabat-sahabatnya memandang heran lalu tertawa menganggapnya sedang tidak waras. Mom Esti hanya memperhatikan dan tersenyum sendiri sambil mengotak-atik handphone-nya.
“Emon, obatmu habis, ya.” Ucap Ichan berkelakar. Suasana makin menggelitik. Mereka menyantap makanan dan minuman dengan penuh kenikmatan serta kebersamaan yang tak ternilai kehangatannya. Disaat orang lain perduli dengan diri mereka sendiri. Mereka membuktikan bahwa perbedaan dari segi apapun tidak akan pernah bisa memisahkan rasa kekeluargaan yang sedimikian indah berdiri di atas rasa saling percaya dan rasa saling menutupi, melindungi, dan mencintai pergaulan dengan membuatnya sebagai penuntun persaudaraan diantara umat manusia.
Langit yang sejak kemarin mendung. Kini mulai terlihat benderang oleh cahaya matahari yang hadir menguning dan menyengat bumi. Ibel dan sahabat-sahabatnya berkumpul di atas sebuah perahu yang dibalik terletak di bawah pohon. Abdul memainkan gitar sambil menyanyikan lagu dangdut era Sembilan puluhan. Judulnya afifah yang pernah dipopulerkan oleh penyanyi, Yopie Latul. Abdul begitu semangat mencambuk gitar di tangannya. Ibel dan lainnya ikut larut dalam nyanyian.
“hitam memang kulitku.” Kata abdul menyerukan lirik awal lagu itu. Mereka menyanyikannya beramai-ramai. Dan di akhir lagunya, maka didendangkan kata “o..,afifah.” Sementara Adrian, Ichan, dan rheyzal asyik bermain kartu domino. Angin laut berhembus sejuk ke pantai. Para remaja itu begitu senangnya berada di tempat terbuka. Di pantai yang menyajikan pemandangan indah nan segar. Angel, Sherly,dan three Angel dan juga Yanti bersama Mom Esti tengah membicarakan sesuatu sambil bercengkerama. Dari kejauhan perahu nelayan begitu tenang di atas permukaan laut menunggu hasil tangkapannya. Perahu-perahu sebagian terlihat menggunakan layar dan dituntun angin menyongsong arus yang berkelebat putih.
Pepohonan di tepi pantai nampak melambaikan dedaunan kepada angin, kepada lautan, kepada para nelayan yang mencari rezekinya, kepada remaja-remaja yang tengah asyik bergembira dalam kebersamaan mereka. Tampak juga celana dalam milik Ichan dan Alan yang dibelai-belai oleh angin di atas pohon. Alan, Aris, dan Ichan kemudian naik di atas pohon yang dahannya sudah terlihat lapuk. Si tomboy, Shany juga ikut-ikutan kemudian berlari-lari mengitari pohon itu. Ibel yang asyik berlari keluar masuk tenda kepentok batang pohon yang agak besar hingga benjol di keningnya.
Seorang lelaki tua tampak tiba-tiba muncul dari semak-semak menuju sebuah perahu yang terletak di daratan. Lelaki tua itu mulai menyeret perahunya. Ia ingin membawanya ke pantai dan segera melaut. Ichan yang melihat lelaki tua itu menyeret perahunya, berinisiatif mengajak sahabat-sahabatnya untuk membantu lelaki tua itu membawa perahunya ke pantai.
“kasihan orang itu.” Ujar Ichan diiringi pandangan sahabat-sahabatnya ke orang yang dituju ucapannya. “ayo, kita bantu.” Lanjut Ichan mengajak sahabat-sahabatnya agar berdiri dari duduk mereka untuk membantu lelaki tua itu. Tapi sayang, baru saja berdiri dari tempat mereka duduk. Mereka kaget dan spontan terpingkal akan kenyataan yang mereka lihat. Lelaki tua itu dengan santainya memanggul perahu besar itu di bahunya. Ichan dan sahabat-sahabatnya saling menertawai diri mereka sendiri. Mengapa mereka bisa sebegitu tertipu keadaan. Lelaki tua berkulit hitam dan kusam itu mengejutkan rasa iba mereka yang berkeinginan untuk membantu.
Lelaki tua itu menuju pantai kemudian meletakkan perahunya di bibir pantai dan menyeretnya ringan ke laut. Sekejap Ichan, Emon, dan sahabat-sahabatnya menggeleng heran. “padahal kalau kita, jangankan perahu. Pikul sekarung beras saja, rasanya pinggul seperti mau patah.” Kata Aris mengomentari pemandangan itu. “biasalah, Ris. Orang kampung semuanya memang begitu, tubuh mereka kuat karena hidup mereka memang keras. Hal seperti ini sudah dianggap lazim oleh penduduk desa di manapun.” Jelas Mom Esti menerangkan untuk didengarkan murid-muridnya.
Matahari makin terik. Angel, Mom Esti dan sesama perempuan mengisi waktu mereka dengan tidur-tiduran. Abdul, Panji, dan Mardono melanjutkan nyanyian dengan berbagai lagu yang mereka hafal. Rheyzal dan beberapa sahabat lainnya asyik bermain kartu. Dono terheran-heran merengut ketika matanya menemukan benda yang diletakkan tidak pada tempatnya. Apalagi di tempat terbuka seperti pantai ini. Celana dalam ichan dan alan memancing kegelian. “punya siapa itu!? Jangan dijemur di situ, nggak malu apa dilihat orang” pertanyaan Dono menerbitkan tawa Mom esti dan teman-temannya. Ichan dan alan bersama yang lain tengah asyik mengobrol. Suara yudi menambah rasa gelitik dan getar perut menahan tawa, “woii!, Ichan! Alan! Angkat tuh sarung pedang kalian berdua. Hah, merusak pemandangan alam saja!”
***
Sore tampak mengepakan sayap redup mataharinya. Cahaya yang tadinya terasa terik membakar kini terasa agak sejuk dinaungi angin pantai. Shany, Ichan, Dono, dan sahabat lainnya membentuk dua tim yang terdiri dari lima orang per tim. Bola plastic berukuran kecil itu dijadikan permainan. Apalagi kalau bukan permainan sepak bola gawang mini yang biasa dimainkan oleh kebanyakan orang di kota ambon. Namun kali ini remaja-remaja ini tidak memainkannya di lapangan tapi di pantai. Semua pemain lelaki. Hanya Shany si tomboy itu yang merangkap dua spesies sekaligus dalam dirinya, cowok dan cewek.
Anak-anak dari desa Tial juga banyak yang berada di situ. Mereka bermain di dekat pantai dan perahu-perahu mereka. Ada juga yang berlari berputar-putar di sekeliling tenda. Mom Esti dan para siswanya memperhatikan mereka. Alih-alih mereka punya niat tidak baik ketika mereka mendekati perkemahan. Ichan dan Alan sudah diisyaratkan untuk duduk di atas pohon sambil menjaga tenda perkemahan. Beberapa pria desa Tial yang berada di situ sengaja menyuruh adik-adik mereka untuk berpura-pura kejar-kejaran di sekitar tenda. Namun Mom Esti dan siswa-siswinya sudah membaca situasi sebab teringat apa yang telah disampaikan Fitri dan keluarganya untuk menjaga agar jangan sampai barang-barang bawaan mereka dicuri oleh orang-orang yang berniat tidak baik itu.
Sementara itu. Angel, Adrian, Rheyzal, dan Ibel, juga Dora tengah asyik membanting kartu domino di terpal yang mereka duduki. “giliran kamu yang kocok kartunya.” Perintah Angel ketika Rheyzal membanting kartu terakhirnya. “giliranks, akux lagiks yaks. Setelah ini pasti giliranmux nihks mengocoks kartuks” imbuh Rheyzal dengan perkataan yang ditambahi huruf ‘ks’ diujung kata-katanya. Dan perkataan itu ditiru dan terus diucapkan oleh Angel, Adrian, Ibel, juga Dora yang saat itu sedang memperhatikan kartunya masing-masing.
“goaaal!” teriak Shany ketika ia berhasil mencetak gol. Setelah kecapaian bermain bola Shany dan beberapa sahabatnya melompat ke laut. Saat melompat ke laut, beberapa teman lelakinya terlihat mencuri-curi kesempatan untuk memegang dan memeluknya. Shany, meski tomboy. Tetapi dia lumayan cantik. Tubuhnya yang berisi dan saat itu bercelana pendek juga berkaus pendek memang menarik untuk dipandang bagi yang menyukai cewek seksi.
Mereka saling melempar dengan bola kemudian berfoto-foto bersama. Three Angel terlihat santai di dekat perahu dengan sifat ketiganya yang berbeda dengan teman-teman mereka yang begitu asyik bercengkerama di pantai. Alan dan Ichan tetap siaga di dekat tenda. Angel dan sahabatnya yang tengah larut bermain kartupun tidak melewatkan mata mereka dari tenda yang sedang dikitari anak-anak yang bisa saja mencuri sesuatu dari tenda mereka bila tidak diawasi.
Senja tiba. Pemuda dan anak-anak desa Tial yang berlari di dekat tenda telah pergi. mereka meninggalkan kesan yang tidak menyenangkan bagi tamu mereka, remaja dan guru yang sedang berkemah itu. Meski tak ada barang yang hilang. Namun sangat merusak suasana.
Hari mulai gelap. Dua orang remaja yang tinggal di dekat pantai tiba-tiba mendekat ke perkemahan. Saat itu hanya Mom Esti, Angel, Emon, Ibel dan Dono yang sedang berada di luar dekat tenda. Sementara yang lain ada yang masih di sumur dan juga ada yang tengah berganti pakaian di tenda. Angel sedang memandang ke arah laut. Kedua remaja desa Tial itu mendekat. Mereka mengajak bicara Angel. Dengan penuh percaya diri keduanya menebar senyum ketika berakap-cakap dengan Angel. Ketika Angel duduk di perahu letaknya terbalik itu. Mereka juga ikut-ikutan duduk. Dari gelagat keduanya, mereka kira Angel itu gadis yang mudah untuk didekati. Perkiraan mereka itu salah. Ibel, Emon, dan Dono mengawasi. Beberapa saat kemudian Angel mulai merasa tidak nyaman dan berdiri dengan memaksakan senyum lalu meninggalkan keduanya menuju tenda.
***
Angin bertiup sepoi-sepoi. Malam merangkak begitu dingin. Adrian dan ichan ditertawai ketika bayangan mereka sedang mengenakan pakaian dalam tampak dari luar tenda. Selepas isya, suasana yang ramai dengan canda tawa itu lenyap seketika saat Shany mulai merontak dan terkapar dengan tatapan dingin ke segala arah. Ia dipegang oleh Mom Esti dan Dora. Sementara Angel, gadis polos itu hanya menatap kebingungan. Ibel disuruh menyalakan api unggun karena ini malam terakhir mereka di perkemahan.
Suasana kian mencekam kala Sherly ikut terbaring lemah tak bersuara. Tiba-tiba, “hahh!.” Jerit Sherly serak. Tubuhnya gemetaran. Ia benar-benar kesurupan. Ibel dan lainnya mulai membacakan doa sebisanya. Emon menelpon ayahnya untuk menanyakan yang harus dilakukan bila seperti ini. Shany dipegang Mom Esti. Ia dikuatkan dengan doa agar terjaga dari kerasukan. Semuanya panik. Entah apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini.
Ibel membaca doa sambil memegang kaki Sherly yang terus merontak. Mereka semua berdoa. Mom Esti membunyikan Murottal. Berharap kesurupan ini segera reda. Namun dari sekian surah yang dibunyikan dari handphone Mom Esti, tak satupun yang mempan mengusir jin yang merasuki tubuh Sherly. Dono langsung diperintah Mom Esti ke rumah Fitri meminta pertolongan.
Para remaja dan guru mereka itu terus berjuang dengan ayat-ayat suci alquran yang keluar dari bibir-bibir mereka. Tak lama kemudian Fitri dan beberapa orang dari rumahnya datang diiringi Dono sambil membawa lampu petromaks. Seorang lelaki paruh baya berbadan gempal dan berkumis tebal langsung menghampiri Sherly sambil membacakan sesuatu. Terdengar seperti mantra yang bisaa dibacakan para dukun. Beliau meniupkan udara dari mulutnya ke wajah Sherly sambil memegang kepalanya. Sherly sekejap terlihat tenang.
“bagaiaman keadaannya ini pak?” Tanya Mom Esti cemas kepada lelaki paruh baya itu. “untuk sementara ini dia bisa tenang. Tapi saya tidak tahu sampai kapan ia bisa bertahan” tukas lelaki paruh baya yang mirip dukun itu menguatirkan. “mem, sebaiknya malam ini mem dan kalian semua menginap di rumah kami. Aku kuatir ini akan semakin menjadi-jadi” saran Fitri kepada Mom Esti dan teman-teman sekolahnya itu.
“baik. Terima kasih fit.” Sambut Mom Esti menerima saran salah satu muridnya itu. Wajah Mom Esti benar-benar menunjukkan rasa cemas dan tanggungjawab beliau sebagai guru yang saat ini menjadi pimpinan perkemahan. Semua langsung bergerak mengangkut barang bawaan. Tenda yang telah didirikan lantas dicabut dari patokannya.
Sherly digotong beberapa temannya. Yang lain tetap ditenda sampai Sherly dan Shany tiba di rumah Fitri barulah semua bisa ikut melangkah. Karena ada tas ransel dan barang bawaan yang harus dibopong oleh lebih dari satu orang. Kemudian beberapa menit setelah Sherly dan Shany tiba di rumah Fitri, seseorang lalu datang memberi tahu agar yang masih di pantai langsung bergegas ke rumah Fitri.
Mereka turut melangkah meninggalkan pantai lokasi perkemahan. Langkah demi langkah disusupi rasa takut. Makhluk-makhluk halus itu terasa mengawasi langkah mereka. Membelah semak-semak dan mulai memasuki jalan desa. Berjalan sambil meraba dengan kaki di tiap pijakan. Ibel menggotong wajan. Sedang Emon dan Ipin menenteng kompor berbarengan.
Tanpa diduga tiba-tiba terdengar bunyi seperti benda keras terjatuh ke tanah. Emon dan Ipin seketika berbalik ke belakang. Rupaya Dora terpelanting. Ia pingsan tanpa ada sebab. Begitu menurut semua teman yang mengiringinya saat itu. Sejenak kemudian ia mengerang. Semuanya tersadar bahwa Dora sedang kesurupan. Dengan cepat sang dukun langsung mengambil segelas air mineral kemasan. Beliau mendesis air itu dengan doa yang kedengarannya tidak jelas. Mulutnya terus komat-kamit. Lantas beliau mengobok sedikit air di dalam mulutnya kemudian disemburkan ke wajah Dora.
Angel dan Adrian yang kebetulan menjaga Dora langsung menghempaskan wajah mereka searah semburan itu. Mereka terlihat jijik. “hahaha. Bel, coba kamu lihat wajah Angel dan Adrian.” Kata Emon setengah berbisik pada Ibel. “mereka disembur dengan air dari mulut dukun itu. Wajah mereka langsung mengerut.” Lanjut Emon sambil menahan tawanya. “boleh jadi si dukun ini sudah tiga bulan nggak gosok gigi. Jelas baunya pasti sangat menusuk hidung sampai ke jantung mereka berdua” bisik Ibel pada Emon dan keduanya terkekeh pelan menertawai nasib Angel dan Adrian terkena semburan.
Ipin nimbrung diantara Emon dan Ibel, “sepertinya Angel dan Adrian harus dimandikan dengan kembang tujuh rupa agar mereka kembali bersih dari bekas semburan yang beraroma seperti tikus mati itu” celetuk Ipin menambahi percakapan. “dan si Dora harus lebih istimewa lagi” timpal Ibel. “apa?” Tanya Emon dan Ipin hampir bersamaan. Kemudian Ibel melanjutkan omongannya, “si Dora harus kita rendam di dalam sumur kembang tujuh rupa yang di dalamnya sudah dimasukan seekor ayam putih dan seekor kambing hitam. Terus ditambahi bawang putih, bawang merah, bawang Bombay, beras ketan, dan se-rak telur.” “kayak mau jual sembako aja kamu” tambah Ipin. Seketika ketiganya menahan tawa mereka yang hampir memecah suasana cekam malam itu.
Tidak mau berlama-lama di situ. Dora langsung diangkat dari tempatnya terbaring. Tubuhnya agak berat. Ditaksir sekitar tujuh puluh kiloan. Sampai yang memapahnya pun wajah mereka terlihat seperti disiksa saking beratnya tubuh Dora. Dora sadar namun tubuhnya melemas. Jin yang merasuki tubuh seseorang selalu meninggalkan efek lemasnya tubuh yang dirasukinya. Sahabat-sahabatnya segera bersamanya ke rumah Fitri.
Di perjalanan menuju rumah Fitri terdengar lolongan anjing yang monoton. Entah dari mana suara itu. Kuburan terlihat ada beberapa dibawah pohon tepi lapangan sepak bola gawang mini. Tak ada sinar bulan. Bintang-bintang pun bersembunyi dibalik awan kelam. Ketakutan merambah hingga ke dinding kulit. Merinding di keheningan malam. Dibantu pendar cahaya lampu dari rumah yang dilalui, mereka terus mengikuti arah Fitri melangkah.
Sesampainya di belokan dekat rumah Fitri. Suara lolongan anjing makin keras. “wah! Sialan. Rupanya di sini ada anjing!” Sentak Dono ketika melihat anjing di depan rumah Fitri. Anjing itu lalu diusir Fitri. “tidak apa-apa. Jangan takut. Anjing itu jinak, itu milik tetanggaku.” Kata Fitri menenangkan. Fitri lalu mengajak guru beserta teman-temannya masuk ke rumahnya. Di dalam Sherly sudah terbaring. Mom Esti mengeluarkan Alquran dan menggenggamkannya di tangan Sherly.
“kenapa kalian di luar, ayo masuk. Jangan malu-malu” pinta Fitri saat melihat beberapa temannya masih berdiri di luar. Dengan rasa sungkan mereka masuk dan sebagian duduk di dapur. Berselang kemudian sontak terdengar kegaduhan di ruang tamu. Sherly dan Dora kembali mengamuk. Sang dukun cekatan mengambil segelas air dan mengunyah bawang putih. Entah untuk apa bawang putih itu. “Dono, pak tua ini mau tumisan kali, ya. Pake kunyah bawang putih segala” bisik Ichan seloroh “diam, ah. jangan bercanda” lirih Mardono menunjukan wajah serius.
Setelah hampir satu jam berkutat dengan tubuh yang dirasuki jin. Akhirnya mereka bisa beristirahat. Dora dan Sherly nampak belum pulih. Sepertinya makhluk halus itu tak ingin pergi dari tubuh mereka begitu saja. Sahabat-sahabat itu terus berdoa. Membaca ayat suci alquran karena berharap teman mereka tidak diganggu lagi. Mereka tidur berdesakan. Sementara yang perempuan tidur di satu kamar. Yang laki-laki tetap tidur di ruang tamu sambil menjaga kedua sahabatnya.
***
Pagi itu ketika semua terbangun. Hujan deras terus turun. Dingin menghampiri semua orang yang berada di bumi Tuhannya. Sarapan pagi tersaji di atas meja. Sherly dan Dora masih kelihatan lemas. Sebagian berkumpul di ruang tamu. Sebagian lagi di teras rumah. Menatap hujan yang masih merentet dan mengalirkan air di tepi rumah dan menghanyutkan benda-benda kecil yang bisa dihanyutkannya. Perbincangan seputar keadaan Sherly dan Dora berderai sampai bagaimana nanti menjelaskan kepada orang tua mereka ketika pulang.
Sekitar pukul sembilan Sherly kembali menggeliat dan mengerang. Dibacakanlah ayat suci alquran di telinganya. Ia semakin merontak tak tertahan. Mom Esti, Mardono dan Ipin langsung sigap menahan tangan dan kakinya. Sekuat tenaga mereka berusaha menenangkan Sherly seraya membaca alfatihah dan ayat kursi. Beberapa menit mereka bergulat untuk mengusir jin yang merasuki Sherly, namun tidak mempan juga. Begitupun dengan si dukun dan ilmu yang ia miliki tidak menolong sama sekali.
Sherly mulai setengah sadar ketika Shany membakar tissue yang sebelumnya telah ia usapkan ke kening Sherly. Sherly berteriak. Ia melihat jin itu melayang dan bersembunyi di lukisan-lukisan. “itu! Itu! Mereka ada di lukisan-lukisan itu” jerit Sherly seraya menunjuk ke lukisan-lukisan yang terpajang di dinding rumah Fitri. Secepat mungkin semua lukisan langsung diturunkan dari pengaitnya. Kemudian shelry dipegangkan alquran dan dituntun membaca isti’adza.
Rheyzal resah ia makin geram dengan jin yang merasuki tubuh sahabatnya. Kata salah satu anggota keluarga Fitri bahwa saat di perkemahan mungkin mereka membuat kesalahan yang membuat jin penunggu tempat itu marah. Maka harus ada yang meminta maaf ke sana. Ibel, Emon, dan Rheyzal makin kesal mendengar ucapan itu. Mereka merasa tidak perlu. Untuk apa meminta maaf kepada jin. Tempat itu milik Allah. Bukan milik setan. Dan jika mereka meminta maaf kepada jin kafir itu pertanda mereka lebih takut kepada kekuatan setan dibanding kekuatan sang maha pemilik semesta, Allah azza wajalla.
Kegeraman telah memenuhi ubun-ubun kepala rheyzal. Ia dan Emon segera ke pantai pasir panjang tempat perkemahan mereka. Dari rumah Fitri ia beralasan ingin membersihkan tempat perkemahan mereka dari sisa sampah mereka selama di situ. Namun ketika sampai rupanya mereka hanya jalan-jalan di pantai. Sambil memayungkan dirinya Emon berdiri di tepi pantai. Gerimis pagi masih menyusup ke dalam suasana yang begitu dingin. Mendung tampak tidak mau hilang di hari itu. Entah apa yang tengah diperbuat Rheyzal dibalik pohon tidak diperhatikan oleh Emon.
Sekonyong-konyong Emon melihat Rheyzal keluar dari balik pohon. Celanyanya sedikit kedodoran. Rheyzal menuju tepi pantai dan menurunkan celananya lalu menyelupkan area sensitifnya ke air. Tangannya menggosok bagian itu beberapa kali sehingga wajahnya terlihat tenang. Emon mengernyit mendapati sahabatnya melakukan itu. Setelah itu tanpa sepatah kata Rheyzal langsung mengajaknya kembali ke rumah Fitri. Sambil berjalan Emon menanyakan apa yang baru dilakukan Rheyzal di bawah pohon yang diduga tempat hunian para jin kafir itu. Seketika Emon terbahak-bahak setelah mendengar jawaban rheyzal.
*
“Assalamualaikum.” Terdengar suara dari pintu dapur. Emon tampak baru pulang dari pantai. “waalaikumsalam” jawab teman-teman yang kebetulan sedang bercakap-cakap di meja makan. Sherly dan Dora Nampak dipapah keluar dari wc. Mereka muntah. Perkiraan Emon keduanya kumat lagi. Jin kafir itu benar-benar belum kapok. “bagaimana, sudah kalian bersihkan sampah di tempat perkemahan kita?” Tanya Mom Esti memastikan. “sudah, mem. Hihihi! ” sahut Emon sambil tertawa menyiratkan sesuatu. “begitu saja, atau ada lagi yang kalian lakukan, berdoa atau mengutuk, kek?” Tanya Ibel menyelidik. Ia yakin Rheyzal akan berbuat lebih untuk membalas keresahannya.
Emon mendekat ke meja makan. “ia meninggalkan cream beraroma yang pastinya tidak disukai jin bahkan manusia sekalipun. “Maksud kamu?” kejar Ibel. “rheyzal boker di bawah pohon tempat kita mendirikan tenda.” spontan semuanya tertawa setelah mendengar perkataan Emon. “lalu di mana dia?” Tanya Ida salah satu dari three Angel. “tuh!” kata Emon dengan telunjuk mengarah ke Rheyzal yang sedang berdiri di luar seperti tengah memikirkan sesuatu.
Selepas waktu dzuhur. Nasi dihidangkan. Bungkusan mie instant mulai dibuka. Bumbunya juga secepat gerak ditabur di sebuah mangkuk berukuran besar. Sebab yang mau makan juga semuanya manusia yang kerongkongannya selevel kerongkongan unta padang pasir. Three Angel sibuk memasak mie bergantian untuk sahabat-sahabatnya. Sementara tuan rumah telah sejak malam membiarkan suami[1] di atas meja makan tanpa ada yang menyentuh.
Rheyzal dan Ibel melirik makanan khas Sulawesi tenggara itu. Tapi mereka sungkan pada pemilik rumah. setelah pura-pura bertanya kepemilikan suami itu, akhirnya dengan segenap hati dan terpaksa maupun tidak dipaksa, atas seizin tuan rumah suami itu langsung dicomot Rheyzal dan Ibel lalu dicocol ke piring berisi mie kuah. Lezat! Begitulah kesan keduanya setelah melahap suami yang agak keras seperti batu itu. “kok keras, ya. sepertinya orang yang membuat suami ini belum profesional” ujar Ibel merengut. Rheyzal hanya manggut pasrah sambil terus mengunyah.
Semua alat makan diangkut ke tempat penyucian. Saling membantu tetap diutamakan. Piring, gelas, maupun sendok dibersihkan. Waktu menunjukkan hari mulai sore. Mereka mulai sibuk bolak-balik masuk kamar mandi. Ada yang sengaja masuk tanpa tujuan dan berdiam diri sejenak di dalam. Ada yang hanya sekadar mencuci muka. Ibel beranjak dari dapur ke ruang tamu. Ia sedikit kaget. Tanpa disangka sang sopir yang mengantar mereka ke desa Tial telah berada di ruang tamu. Beliau komat-kamit. Mengucap sesuatu lalu meniup wajah Sherly yang kembali berontak. “lho, kesepakatan kita dijemput kan bukan jam begini. Beliau kok, sudah datang” gumam Ibel sambil memandang sahabat-sahabatnya.
Yang lain juga tercengang dalam keadaan yang sama. “saya sengaja datang lebih awal karena firasat saya buruk dengan keadaan kalian, apalagi hujan terus turun. Itu yang membuat saya kuatir.” Rupanya sang supir peduli dengan keselamatan peserta kemah yang dua hari lalu ia antar dengan mobilnya. Lagipula ia juga warga asli desa Tial. Ibel merasa senang ada orang sebaik itu. Dia tidak hanya mencari uang menafkahi hidupnya semata tapi dengan jasanya ia juga peduli dengan sesama.
Azan waktu sholat ashar telah berkumandang. Sang sopir atas pinta Mom Esti langsung menghidupkan mesin mobil. Sherly dan Dora duduk paling depan bersama Mom Esti. Barang-barang bawaan telah terikat di atas kap mobil sebagian. Dan sebagian lagi dimasukkan ke dalam mobil seperti saat mereka berangkat.
Semua telah masuk mobil kecuali Ibel. Ia datang sambil berlari kecil membawa termos air. “ini, masukan di bawah tempat duduk kamu” kata Ibel sambil menyodorkan termos air berukuran besar itu kepada Mardono. “tunggu, ini punya siapa. Perasaan ini bukan punya kita, lho” jawab Mardono menolak mengambil termos itu. “coba kamu tanyakan dulu ke Mom Esti, punya siapa termos ini” ujar Ichan menengahi. Mom Esti yang mendengar percakapan itu langsung melempar pandangan ke belakang. “eeeh, termos itu bukan punya kita. Itu milik Fitri” pekik Mom Esti dari jok depan. Ibel kelimpungan, ia langsung berlari cepat ke rumah Fitri mengembalikan termos itu. Karena terburu-buru ia seakan tanpa sadar hampir membawa pergi salah sebuah perabot milik keluarga Fitri.
Ibel sudah naik ke mobil. Ia berdiri tepat di belakang Mom Esti. “Ibel, tolong, ya kamu bacakan alfatihah dan ayat kursi selama perjalanan” pinta Mom Esti karena merasa dua muridnya belum terbebas dari belenggu jin kafir laknat. Situasi di dalam mobil begitu tenang. Tidak seperti saat ke perkemahan. Jalanan basah. Langit mendung masih menyelimuti. Hujan turun tidak begitu deras dan dingin menyerang selama perjalanan pulang.
Kini mobil berhenti hanya beberapa meter dari depan lorong masjid Almukhlisin waringin. Semua penumpangnya turun. Barang bawaan satu per satu diturunkan. Semuanya tersenyum lega. Dora dan shelry masih terlihat sedikit lemas tapi sudah bisa jalan tanpa harus dipapah. Mereka semua melangkah tenang dan bahagia telah sampai setidaknya di pemukiman yang menjadi tempat mereka selalu berkumpul dan belajar bersama.
Angel telah kembali ke rumahnya. Semua yang masih bersama Mom Esti berencana ke rumah Tia salah satu sahabat mereka. Ketika tiba di dekat masjid sekelebat Ipin terjatuh. Beberapa orang langsung menggotongnya ke masjid. Entah apa yang terjadi dengan Ipin tidak disangka-sangka. Ia lalu dengan tiba-tiba menjerit. Rupanya dia kesurupan. Ibel mengumandangkan azan di telinganya. Setan memang takut dan kabur ketika mendengan suara azan. Namun upaya Ibel sia-sia ternyata. Justru Ipin berontak sejadi-jadinya. Banyak warga mulai berkerumun karena mendengar riuh kegaduhan di beranda Masjid. Mereka mulai bertanya-tanya. Setelah dijelaskan, seorang nenek lansung menghampiri. “sebaiknya ketika kalian bertandang ke kampung orang, kalian harus dengan satu jari menyolek tanah kampong itu lalu menjilatinya dan meminta izin kepada ruh leluhur di kampong itu.” Mendengar kata nenek itu Ibel merasa risih. Ia tahu itu sama halnya dengan perbuatan syirik. Meminta izin atau secara tidak langsung dengan maksud meminta perlindungan kepada makhluk ghaib selain Allah itu perbuatan syirik.
Nenek itu lalu mengambil bawang dan menggores sebagian daging bawang itu lantas digosokkan ke sela-sela jari kaki Ipin. Tetapi upaya apapun yang dilakukan sore itu tidak berhasil membuat Ipin sembuh dari kesurupannya. Ia langsung dibawa ke rumah Tia dalam keadaan tidak sadar. Kemudian Ibel yang menyadari belum shalat ashar lantas segera berwudhu dan menjalankan shalat ashar. Setelah itu ia menyusul sahabat-sahabatnya ke rumah Tia.
*
Memendung memeluk bulan. Mangkali Rossa punk lagu Memeluk Bulan? Lewat…!
Langit tampak gelap. Bintang-bintang tak ada seolah-olah mereka juga ngeri melihat keadaan Ipin yang tubuhnya dipermainkan jin laknat. Sahabat-sahabatnya yang telah pulang ke rumah kini kembali dengan tubuh mereka yang sudah segar sehabis membersihkan diri di rumah. Kecuali beberapa sahabat yang tidak kembali karena tinggalnya jauh dari tempat Ipin diinapkan, yaitu rumah Tia di waringin.
Ipin ketika itu setengah sadar dari kesurupannya. Menurut yang ditilik oleh sahabat-sahabatnya seperkemahan. Semua ini bermula dari kekosongan hatinya disebabkan heart broken yang menimpanya saat ia melihat yanti bermesraan dengan seorang cowok dari anggota perkemahan. Ternyata diam-diam Ipin jatuh cinta pada gadis yang berbeda agama dengannya itu. Tapi mereka tidak mau menanyakan dan pura-pura tidak tahu akan hal itu. Mereka tidak ingin menyinggungnya. Masak bisa naksir sama cewek Nasarani!? Kayak gak ada cewek Muslim aja di dunia ini.
Dari arah lorong yang gelap pekat di depan rumah Tia datang sesosok tubuh kurus dan bergaya jalan seperti kakek-kakek. Ia datang mengucap salam dan menyungging senyum kepada semua orang yang ada di rumah itu. Setelah salamnya dijawab, “kurang ajar kamu, gara-gara kamu juga nih, bisa jadi begini. Sebelum meninggalkan perkemahan kemarin kamu mengumpat kasar, itu juga ada pengaruhnya sampai seperti ini!” lirih Mom Esti setengah membentak kepada sesosok tubuh itu yang tidak lain adalah Baron.
“memangnya Ipin kenapa, mem?” Tanya baron berusaha menunjukkan wajah prihatin. “dia kesurupan” sahut Adrian. Ibel, Ichan, dan hanya beberapa yang masih turut bersama di rumah Tia. Sementara Mardono yang sebenarnya warga asli waringin tidak kembali lagi. Ia capek dan butuh istirahat. Begitupun cowok yang kemarin bermesraan dengan Yanti. Ipin diajak bercakap-cakap oleh Adrian, Baron, dan Yudi. Maklum mereka adalah kawan segrup yang kompak kemana pun. Kecuali mengenai ajal. Mereka tidak berani kompak.
Sejurus Ipin kembali menjerit. Ia sadar dan meminta Mom Esti dan sahabat-sahabatnya untuk membacakan ayat-ayat alquran padanya. Jin laknat itu tidak merasuk tubuhnya. Ada dua jin. Yang satu menindih lehernya dan satunya lagi menyelinap ke persendiannya. Sahabat-sahabatnya berusaha meluruskan lututnya yang terangkat agar setan itu tidak bisa sembunyi. Tangannya yang berusaha dilipat ditarik paksa supaya lurus oleh dua orang sahabat. Tapi jin yang menyelinap di persendiannya sangat kuat menahan. Hingga Mom Esti dan sahabatnya-sahabatnya kualahan mengatasinya.
Baron beranjak dari rumah Tia. Ia segera berlari ke rumahnya. Tidak ada yang tahu kenapa dia pergi begitu saja. Sementara sahabatnya yang lain masih tengah berkutat dengan ulah jin kafir demi menolong Ipin dari jeratan jin kafir laknatullah itu. Mereka telah membaca beberapa ayat suci alquran namun belum mempan juga. Ipin terus menjerit kesakitan. Kemudian suaranya seperti tertahan karena jin telah menjepit lehernya. Ia hanya mengisyaratkan dengan matanya bahwa ia melihat jin itu menududuki tubuhnya.
Tiba-tiba datang seseorang bercelana sebatas tungkai dan berkopia. Di belakang beliau Baron mengekor. Setelah salam beliau langsung duduk menghampiri Ipin. Beliau meminta diambilkan segelas air. Tanpa panjang lebar bertanya, beliau langsung merukiah Ipin. Jelaslah dalam rukiah, sejumlah pertanyaan dicecar kepada jin bersangkutan. Dalam beberapa menit saja beliau berhasil mengusir jin sialan itu dari tubuh Ipin. Kemudian beliau membangkitkan tubuhnya lalu meminumkan segelas air yang sebelumnya telah beliau doakan. Ipin lalu diberikan habbatussaudah atau obat yang diramu dari jintan hitam agar merilekskan tubuhnya.
Setelah melihat keadaan Ipin yang mulai tenang. Beliau singkat menerangkan cara rukiah berikut surah apa saja yang mesti dibaca saat merukiah. Setelah itu beliau pamit. Setelah beliau hilang dari pandangan, “dia itu kakak iparku” jelas Baron yang tadi mengantar beliau ke rumah Tia. Semua menanggapinya dengan ekspresi wajar. Mereka masih menghawatirkan keadaan Ipin. “Ipin, gimana mau langsung pulang atau mau nginap di sini” Tanya Mom Esti pelan. Namun Ipin dengan wajah ragu hanya bertutur sekenanya. Ia tidak tahu harus pulang malam ini atau tidak. Ia takut neneknya tahu dan dia diomeli.
Baron yang diperintah ibunya lalu mengajak Ipin menginap di rumahnya. Persoalan bagaimana mengabarkan keadaan Ipin sekarang, nanti disampaikan Adrian bersama Baron atau Yudi saat ke rumah Ipin. Gelap makin merangkak. Ipin telah dibawa ke rumah Baron dan tidur di sana. Sementara Mom Esti dan siswa lainnya berkumpul di rumah Sherly. Baron kembali memanggil kakak iparnya untuk merukiah Sherly. Sambil Sherly dirukiah obrolan pun terjadi di dalam rumah itu. Sedikit ramai dengan tawa canda. Perbincangan seputar perkemahan mereka sampai perjalanan pulang menjadi topik utama.
Adrian dan Ibel asyik melahap mie yang dimasak ibunya Sherly. Saat itu seperti di bioskop. Nonton sambil makan. Bedanya, yang ditonton ini bukan film tapi sahabat yang sedang dirukiah. Rukiah berjalan cukup lama karena si Sherly banyak maunya. “push” atau “meong” begitulah Adrian sering menyapanya. Usai rukiah semuanya bubar meninggalkan waringin dengan perasaan lega masih bercampur sedikit kecemasan.
***
Hari itu seperti hari-hari sebelumnya. Pesan-pesan yang dianggap tidak penting masuk ke handphone. Mereka saling mengirim sms lucu. Ada pula yang mengirim sms mengenari prediksi kelulusan Ujian Nasional. Dan ada juga yang mengirim sms untuk bertemu di waringin. Berkumpul untuk menjenguk Sherly dan Ipin. Sms kian bertebaran sampai ada yang menanyakan keadaan setelah sampai di rumah dan apa yang dilakukan untuk menghilangkan rasa penat selepas kemah. Pagi yang aneh.
Sorenya mereka kembali bertemu di rumah Tia. Itu dilakukan atas ajakan orang tua Tia agar sahabat-sahabatnya beserta Mom Esti sering-sering berkunjung ke rumahnya. kondisi begitu ramai. Ada yang datang terlambat dan mendapati rumah Tia telah penuh, maka langsung duduk di beranda. Bahkan sampai ada yang berebutan kursi untuk duduk. Mereka dihidangkan makan dan minum. Bersahaja. Bersuka cita setelah kembali dari perkemahan. Merasa lega karena Dora sudah tak lagi kesurupan. Sherly yang masih tenang di rumah, dan Ipin saat itu berada di rumah Tia. Beberapa saat berlarut. Sebagian mulai pamit meninggalkan rumah Tia.
Entah bagaiamana. Suasana yang tadinya ceria berubah. “hahrrrgghh!” pekik Ipin memberontak. Suaranya serak. Yang masih tinggal hanya beberapa orang dan Mom Esti. Mereka terkejut. Tak ada yang menduga Ipin akan kembali kesurupan. “Mom, aku minta maaf, Mom. Aku meminta maaf kepada kalian semua” nada suara Ipin dibarengi raut seperti orang yang akan dijemput kematian. “Ipin, jangan berkata seperti itu Ipin” lirih Mom Esti dengan nada sedih. Adrian, Angel, Ibel dan Yudi terlihat panik. Mereka berusaha menenangkan Ipin sambil terus melisankan ayat-ayat yang mesti dibaca saat merukiah.
Panic bercampur jengkel menyusup ke dalam perasaan Ibel. Andai ia bisa memegang jin laknat itu. Mungkin jin itu sudah ia cincang. Beberapa surah terus dibacakan. Tubuh Ipin semakin mengeras seperti baja. Persendiannya yang berusaha dilipatnya terus ditarik. Jin yang merasuki tubuh manusia selalu mengincar persendian untuk menyelinap dan menuju ke otak untuk memengaruhi pikiran. Rukiah dilakukan dengan hati-hati oleh sahabat-sahabatnya. Sebab rukiah bila salah dilakukan maka bisa berakibat fatal bagi orang yang kesurupan.
Saat tengah dirukiah Angel yang tadinya hanya menatap sambil melafalkan beberapa surah untuk rukiah. Tiba-tiba saja tangannya menyambar tangan Ipin. Ia mengelus tangan Ipin sambil membujuk supaya Ipin terus beristi’azah. Sekejap Ichan tercengang. Baru pernah ia melihat Angel menggenggam tangan seorang cowok. Dalam hati ia menjerit gemas, “wah! Saudaranya si Upin ini walau sekarat, tapi dia sungguh beruntung, tangannya dipegang dan dielus Angel layaknya seorang putri yang takut kehilangan pangerannya. Aku mah jangankan dipegang, bermimpi dikedipkan mata sama Angel aja belum pernah”
*
Beberapa hari setelah Ipin sembuh dari nasibnya yang begitu buruk. Ia mulai kelihatan ceria seperti sediakala. Ia mulai menjalankan sholat lima waktu. Itu patut dikerjakannya. Karena dengan begitu selain menjadi kewajiban setiap muslim, itu juga berguna menjauhkan diri dari gangguan iblis laknatullah. Di siang hari nan terik mereka kembali berkumpul di rumah Sherly. Ada agenda baru yang mereka rencanakan, yakni pengajian selama satu bulan menjelang hasil ujian nasional diumumkan. Semua sepakat pengajiannya dilakukan malam hari di rumah Sherly.
Hari pertama tadarus.
Wajah Angel kelihatan bersemangat seperti lainnya. Namun ada sesuatu yang sepertinya ingin ia ungkapkan ke sahabat-sahabatnya. “maaf teman-teman, bagaimana kalau besok pengajiannya di rumahku saja.” Kata Angel dengan raut penuh harap. Sahabat-sahabatnya hanya menatap bingung. “soalnya ibuku tidak percaya dan tidak mau aku keluar malam terus, aku sampai bilang kalau mama nggak percaya datang saja ke rumah Sherly dan lihat sendiri!” lanjut sang merpati cantik itu. Jelaslah mana ada orang tua baik-baik yang akan membiarkan anak gadisnya keluar malam terus tanpa ditemani muhrimnya. Beberapa detik dimusyawarahkan. Akhirnya semua mengambil keputusan, pengajian hari berikutnya di rumah Angel.
Sherly yang sudah sering ke rumah Angel merasa biasa saja. Tapi tidak bagi yang lain. Yang cowok tentunya paling senang dengan keputusan ini. Momen yang sangat langka Sebab ada diantara mereka yang belum pernah masuk rumah gadis yang pernah disebut Aris sebagai cahaya dalam persahabatan mereka itu. Tapi kesenangan itu tidak serta-merta ditunjukkan dalam ekspresi sikap melainkan teriakan histeris bahagia yang berdendang di dalam hati mereka. Wow!, di rumah Angel, yah! Yes! Yes!
Esok malamnya.
Tanpa ada pertemuan yang tidak diawali dengan sms saling meledek dan bergurau. Sms salah seorang diantara mereka :
Assalamualaikum,
Hei, tikus kurap,
malam ini jadi, kan di rumah Angel?.
Kalau jadi, hati-hati lho masuk ke sana.
Bisa nggak pulang rumah, kamu!
Sms masih saling dikirim. Ada juga yang sms berguyon :
Assalamualaikum,
Sebelum ke rumah Angel,
mampir dulu di Mom Esti
kita pergi bareng
jangan datang sendirian kalau
ingin selamat. Jangan lupa berpakaian yang
rapi..!
selepas waktu sholat isya beberapa dari mereka sudah berkumpul di rumah Mom Esti. “kalau di rumah Angel pasti jaminannya mantap” Ichan membayangkan sesuatu di rumah Angel. “jaminan apa, nggak jelas omonganmu” sergah Mom Esti. “ya, hidangannya lha, mem. Pasti enak.” Lanjut Ichan menimpali ucapan Mom Esti. Tiba-tiba dari lorong sempit yang remang Aris hadir dengan baju batik kebanggaannya.
“assalamualaikum” seru Aris saat tiba di depan pintu rumah Mom Esti. Semua membalas serempak, “wa’alaikumsalam.” Semua mata tertuju padanya. “baju batik kamu keren ya, Ris” kata Adrian memuji. “ya, iya donk. Masa ya, iya lah!” sahut Aris bangga. “halahh!, baju kakek-kakek begitu dibanggain!” ketus Ibel sinis. “ih! Suka-suka beta, jua!, eh maaf…, maksudnya suka-suka aku donk!, bajunya baju punyaku!” Aris membalas dengan perasaan risih.
Suasana gaduh itu berubah redam saat Mom Esti keluar dari kamarnya setelah mengambil alquran. “ayo jalan” pinta Mom Esti kepada siswa-siswanya yang suka berisik itu. Semua kembali mengenakan sandal dan minta diri pada ibunya Mom Esti yang tengah memelototi televisi menyaksikan sinetron kesayangan beliau. Di rumah itu, beliaulah ratunya penikmat sinetron.
Di depan rumah Angel yang berhadapan langsung dengan jalan raya. Deru kendaraa terus memekik. Kecuali becak yang semua orang juga tahu becak itu tidak bermesin. Outlet excel milik keluarga Angel di waringin itu tampak benderang. Sebab yang digunakan memang benar-benar lampu. Bukan pelita oleh pemilik rumah yang dikepalai oleh seorang bapak yang telah menyandang status haji ini. menurut informasi beliau cukup terkenal di kalangan orang Makassar. Tetapi nama beliau tidak berani disebut sahabat-sahabatnya Angel kalau tengah berhadapan dengan Angel. Karena berani disebut secara lengkap nama beliau, itu sama saja bagaikan membujuk api neraka keluar dari wajah gadis anggun ini.
Beberapa menit berdiri, tidak ada yang berani masuk alias malu-malu. Angel dengan wajah segar memesona turun menjejaki anak tangga layaknya seorang putri turun dari singgasananya. Senyumnya yang anggun namun bisa membunuh itu terhimpun di depan Mom Esti dan sahabat-sahabatnya. Sedangkan Sherly belum juga muncul.
“silakan masuk, jangan hanya berdiri di luar” ucap Angel diiringi senyumannya yang lembut. Sementara sahabat-sahabatnya masuk dengan rasa hormat kepada tuan rumah yang secara kebetulan sedang bersantai di situ. Dengan wajah menunduk mereka menaiki tangga berurutan seperti orang yang akan melakukan perjalanan wisata dengan pesawat. Tidak pernah tidak ada percakapan setiap kali bertemu. Kalau bertemu pasti mulut mereka umpama mulut ibu-ibu yang suka bergosip. Terutama Ichan dan Aris.
Desas-desus suara mereka menyeruak hingga mereka sampai di lantai dua. Mereka mulai duduk membentuk elips sambil menunggu putri pemilik rumah itu muncul. Rheyzal malam itu tidak hadir. Sahabat-sahabatnya itu menduga ichal kurang lancar membaca alquran. Makanya ia minder untuk datang. Padahal ia tidak menyadari kalau Ichan dan beberapa sahabatnya lebih parah dari dirinya. Mungkin bukan hanya itu rheyzal tidak bisa hadir, tapi ada alasan pekerjaan rumah yang tidak diketahui sahabat-sahabatnya. Entahlah.
Dari bawah terdengar langkah kaki menapaki anak tangga. Sherly dan Angel berbarengan naik. Setelah keduanya duduk, mereka mulai satu persatu melanjutkan bacaan alquran yang sebelumnya sudah dimulai di rumah Sherly. Alquran itu dilafalkan, ada yang lancar lengkap dengan tajwidnya. Ada yang lancar tapi asal baca. Ada juga yang baca tersendat-sendat seperti gerobak mie ayam mogok. Setelah satu jus mereka habiskan. Angel turun ke base men rumahnya. “wihiii! Asyik, snack gurih pastinya” sahut Panji dengan wajah mengkilat nan gembira. Ibel nampak tenang seraya memperhatikan ruang rumah Angel sedapatnya memandang.
Tak lama kemudian Angel naik kembali dan meminta Sherly membantunya mengambil snack untuk hidangan mereka. Beberapa menit kemudian hidangan pun didatangkan Sherly dan Angel. Semua menatap dengan wajah bersemangat. Semangat rakus yang ditahan-tahan sebab malu pada Angel. “yuk dicicipi snacknya” serah Angel pada tamunya. Saat seseorang mulai mencomot, maka yang lain langsung bergerak secepat kilat menyantap tanpa menyisahkan sedikitpun. Begitulah mereka, kerongkongan jerapa bisa dibilang kalah dengan kerongkongan mereka. Persahabatan yang seru tapi kadang tidak tahu malu. Hehehe!
*
Beberapa hari melaksanakan pengajian, mereka teramat bahagia karena masih bisa bertemu. Mereka yakin akan berpisah setelah mendengar hasil ujian mereka. Dan mungkin tidak bisa berkumpul dan melakukan pengajian seperti ini. Sebab masing-masing akan mencari tujuan tempat kuliah di universitas yang berbeda. Dan entah mungkin ada yang langsung menikah setelah itu. Semua itu hanya Tuhan yang tahu.
Di suatu malam. Usai pengajian seperti biasa mereka menikmati alakadar yang disajikan Angel di tengah-tengah mereka. Saat tengah menikmati snack dan bercengkerama tiba-tiba Sherly diam tak bersuara lalu pingsan. “Sher, kamu kenapa Sher!?” Tanya salah seorang dari mereka seraya menggoyang-goyang kepala Sherly. Tiba-tiba mata Sherly terbelalak dan menjerit dengan nada yang tidak begitu keras. Ia kesurupan lagi. Setelah dibacakan ayat-ayat untuk rukiah ia kembali tersadar. Sekilas ia melihat jin-jin itu berkeliaran di gorden pintu kamar Angel. Begitu pula Ipin, ia masih bisa melihat jin yang berdiri di depan pintu langkan. “tubuh mereka tampak setengahnya saja, dan wajah mereka kelihatan terbakar” ujar Ipin saat melihat bayangan yang berdiri di depan pintu langkan.
Dora yang semula nampak tidak terjadi apa-apa tiba-tiba ambruk. Ia juga kesurupan. Sahabat-sahabatnya berusaha menenangkan. Mereka melakukan hal sama seperti yang dilakukan kepada Sherly. Namun jin yang merasukinya agak melawan. Lutut Dora yang berusaha diangkatnya sekuat tenaga ditahan oleh sahabat-sahabatnya. Jari tangannya pun tidak luput dari sasaran untuk lekas diluruskan. Mereka berusaha menenangkannya sambil terus menuntunnya dengan bacaan ayat suci alquran.
“aku diperkosa dan dibunuh!” jerit serak suara yang berasal dari tubuh dora yang sedang dikuasai jin. Ichan mendekat. Dengan semena-mena ia menuduh ketika ditanya pelaku pembunuhnya, “kamu!” seraknya menatap wajah Ichan. Tawa berderai dari mulut-mulut sahabat. Ichan tercengang Merasa jin yang masuk tubuh dora sungguh tidak beres. Kemudian dora berujar blak-blakan menatap tajam Ichan, “aku tahu kamu naksir cewek tadi, kan!” kata dora yang dimaksud adalah Angel. Sekelebat semua tertawa mengejek Ichan. Beruntung Angel sedang turun ke lantai bawah. Jadi, Ichan tidak kuatir dan malu pada Angel karena ia tak mendengarnya.
Waktu bergulir beberapa saat. Dora mulai tenang. Ia tertidur. Sementara yang lain terjaga. Adrian meminta Ibel mencarikannya salah satu surah untuk merukiah orang kesurupan. Ibel mencarinya namun hanya tinggal beberapa lembar alquran langsung diserahkan kembali pada Adrian. “ini, tinggal beberapa lembar lagi, kamu teruskan lalu coba kamu baca. Ada tuh ayatnya,” Ibel menjelaskan lalu duduk tenang sambil memerhatikan pemandangan malam dari jendela yang bersebelahan dengan tangga. Jendela itu hanya beberapa meter dari tempat Ibel duduk.
Ibel merasa sesuatu yang tidak biasa ketika ia terus memandangi suasana malam lewat jendela. Bulu romanya merinding. Ia mendengar pekikan kecil seperti burung di atas rumah Angel. Ia berfirasat kalau itu adalah jelmaan hantu. Makin lama memandang ia semakin merasakan ada sesosok bayangan di jendela itu. Namun ia mencoba tidak peduli dengan bayangan itu. Sejenak ia menoleh ke Adrian. Betapa terkejutnya ia ketika melihat Adrian di sampingnya sedang mengelap air matanya. Rupanya ia juga melihat bayangan yang menyeramkan itu. Makanya ia kaku di tempat dan hanya bisa menatap seraya meneteskan air mata saking mengerikan wajah hantu yang dilihatnya itu.
Ibel memalingkan mukanya ke arah jendela. Namun bayangan itu telah menghilang. Ia langsung menghambur rapat ke Adrian. Mengajak Adrian menjelaskan apa yang dirasakannya ketika melihat jin sialan itu dengan mata kepalanya sendiri. “aku melihatnya, sosok menyeramkan, wajahnya begitu menakutkan, aku tak sanggup melihatnya hingga aku meneteskan air mata” lirih Adrian mengingat apa yang baru dialaminya. Tapi syukurlah Adrian tidak kenapa-napa saat melihat makhluk itu. Tidak tahu bila Ichan atau Alan yang melihatnya. Kemungkinan besar mereka langsung pipis di celana.
Malam makin merangkak ke dalam sepinya. Dingin menelusup halus ke dalam rumah Angel. Angin sepoi-sepoi mengantarkan Mom Esti dan remaja-remaja itu ke dalam tidur mereka. Hanya beberapa yang terjaga kemudian tertidur dan setelah beberapa saat kembali terbangun. Ibel tidak bisa terlelap. Ia mengkuatirkan keadaan sahabatnya yang akhir-akhir ini mengalami kesurupan. Ia mengkuatirkan Ipin, Dora, dan Sherly. Ia tahu bahwa jin-jin laknat itu senantiasa mengawasi mereka. Dan akan coba merasuk bila menemukan kekosongan pikiran manusia yang jauh dari Imannya.
*
Subuh berbalut kelengangan. Ibel terbangun dari tidurnya. Ia mulai duduk di sebuah kursi yang berdampingan dengan meja kecil yang mengarah ke jendela. Ia sandarkan tubuhnya dengan mata berat. Ia paksakan untuk tidak tidur lagi. Jam menunjukkan pukul 05.00 wit. Menjelang sholat subuh. Ibel sedang menikmati pemandangan cahanya lampu yang berpendar dari rumah-rumah di luar sana. Kemudian dari bawah terdengar langkah kaki menapaki tangga. Ia penasaran sejenak, siapa sosok yang menaiki tangga ini. Sekejap kemudian munculah seorang lelaki paruh baya bersarung kotak-kotak, baju koko, dan bersongkok putih. Dialah ayahnya Angel. Ibel hanya memandang beliau ketika beliau masuk ke kamar Angel. Setelah itu beliau turun ke bawah tanpa peduli dengan orang-orang yang tengah terbaring lelap layaknya TKI yang terlantar di asrama.
Azan terdengar menggema di seantero kota Ambon. Ibel langsung membangunkan sahabat-sahabatnya mengajak shalat subuh di masjid. “eh, bangun sholat subuh, yuk” kata Ibel sambil menepuk-nepuk tubuh beberapa sahabatnya. Namun yang menurut hanya Adrian. Sedangkan yang lain cuma menggeliat dan membuka mata sebentar lalu kembali terpejam. Keduanya perlahan berdiri setelah itu turun ke bawah. Awalnya Ibel dan Adrian merasa tidak berani turun dan membuka pintu sendiri. “turun saja, liat tuh, pintunya juga dibuka sama papanya Angel, cepat ah..! jangan sampai kita terlambat” desah Adrian yang mendapati pintu rumah sudah sedikit terbuka. Keduanya langsung memberanikan diri menarik pintu dan meluncur ke masjid Almukhlisin, Waringin.
Setelah shalat subuh Adrian dan Ibel rupanya dibuntuti rheyzal. Karena di masjid tadi mereka memang berjamaah dengan rheyzal. Tapi sengaja tidak mengajak bicara karena keduanya terburu-buru ingin kembali ke rumah Angel sebelum didahului ayahnya Angel yang otomatis akan segera menutup pintu ketika beliau pulang dari masjid. Saat mereka akan masuk, Rheyzal memanggil mereka berdua dan mengajak bicara. “tumben kalian sholat subuh di sini” kata Rheyzal dengan pandangan heran. “iya, kebetulan karena kita tidak pulang seusai pengajian semalam, Sherly dan Dora kumat lagi” Adrian menjelaskan dengan tenang. “oh, yah?” koor Rheyzal setengah terkejut. “ya, begitulah. Tapi Sherly sudah reda. Hanya Dora yang masih menggelepar” lanjut Ibel menerangkan.
Rheyzal terkekeh, “yang ada…kalian pasti dibikin pusing sama tuh karung beras.” Ibel dan Adrian merespon dengan tawa ringan. Keduanya lalu minta diri berpisah dengan Rheyzal dan berlalu ke dalam rumah Angel.
***
Matahari mulai menampakan senyum hangatnya. Tikar pengalas dari bambu yang dipakaikan tidur itu telah digulung dan diletakkan di pojok ruang. Dora tampak pulih tapi wajahnya masih menunjukkan kalau dia lemas. Bantal yang berhamburan disusun melekat ke dinding. Berharap tidak ada pulau-pulau kecil yang diciptakan di bantal-bantal itu sewaktu digunakan saat tidur semalam. Angel telah turun ke bawah. Ichan yang telah membasuh mukanya sampai kantuknya benar-benar hilang memperagakan gaya penarik becak yang tengah mengendarai becaknya. Itu ia peragakan di atas belahan dinding berukuran lebih kurang setengah meter yang mengawal tangga. Sepintas mereka semua tertawa.
Angel kembali dengan sebelanga nasi gorieng. Ia telah membuatkan teh pagi yang hangat nan manis. Jari-jari mungilnya dengan lembut meletakkan hidangan untuk Mom Esti dan sahabat-sahabatnya. Jika ada sastrawan yang menggambarkan rasa dari teh ini serta memandang dirinya, maka pasti mereka akan bilang bahwa pembuatnya lebih manis dari teh ini. Lantas Dzay setengah terperangah saat melihat Gadis manis itu memakai sarung layaknya ibu-ibu zaman dulu yang mau ke kondangan. Pantas saja jika tiga sahabat serangkainya ; Inhe, Shinta, dan Deliva sering memanggilnya dengan sebutan ‘nene’ yang maksudnya adalah nenek.
Rheyzal sudah hadir pagi itu ketika mereka akan memulai sarapan pagi. Nasi ditimba seperlunya hingga semuanya kebagian. Asapnya masih mengepul menggoda perut. Doa tak lupa dibacakan sebagai rasa syukur atas nikmat pagi itu. Saat sedang mengunyah, “nasinya…, hmm nasi ini pasti nasi semalam yang tidak dihabiskan penghuni rumah ini” Ibel membatin ketika merasa nasi yang ia makan sepenuhnya bukan nasi yang baru dimasak tetapi sisa nasi semalam yang dibuatkan nasi goreng. “tapi tidak apa-apa, ah. Yang penting bisa sarapan pagi ini” Ibel tidak mau terang-terangan mengungkapkan tanggapannya terhadap nasi goreng buatan Angel. Takut si merpati putih itu tersinggung dan menunjukkan sikap diamnya seperti saat ia mengerjai dirinya dan ketiga sahabatnya ; Inhe, Deliva, dan Shinta beberapa minggu lalu sebelum ujian Nasional di sekolah mereka.
Mereka tampak puas setelah melahap sarapan yang disajikan Angel. Kecuali Dora. Ia kelihatan tidak berselera dan belum menghabiskan sarapannya. Tiba-tiba saja ia mengeruk nasi dengan tangannya lalu melempari sahabat-sahabatnya dengan nasi goreng sedikit demi sedikit. Rupanya ia kumat lagi. Entah setan apa yang pagi-pagi begini berani menelusup ke dalam saraf-sarafnya. Ia terus melemparkan nasi yang ia ambil langsung dengan sendok. Menghamburkannya seumpama orang yang sedang memberi pakan ikan di empang. Sahabat-sahabatnya justru menertawainya. Di saat itu Rheyzal kembali berceletuk “kok, yang dilempar cuma nasinya, kenapa gak dengan piringnya sekalian, takut disuruh ganti sama papanya Angel, ya?” menyimak kalimat dari mulut Rheyzal, sebagian diantara mereka tekekeh menahan tawa. Sementara sebagian lagi menatap cengang sikap Dora.
Hampir setengah jam berlalu. Mereka pamitan dari rumah Angel. Dora sudah sadar dari kesurupannya. Rheyzal, Ilham, Ichan dan Dzay menduga Dora hanya berpura-pura kesurupan untuk mencari sensasi. Ibel yang sudah lebih dulu kembali ke rumahnya, datang ke rumah Mom Esti. Ia bermaksud singgah sebentar untuk menemui Emon yang mampir di rumah Mom Esti dan mengajaknya kembali ke rumah Angel untuk melihat keadaan Dora. “tidak usah, mereka semua telah pulang, Dora telah diantar pulang oleh shinta,” kata Emon memberitahu. “Shinta datang ke rumah Angel?” “iya, Angel menghubunginya. Dan ia langsung diminta Angel mengantar Dora ke rumahnya” “baguslah kalau begitu” ujar Ibel merasa lega. Sebelum pergi Emon mengulurkan sebuah note seraya tertawa terbungkuk-bungkuk, entah punya siapa itu. Ada tulisan norak di dalamnya. Segera diletakkan di atas meja setelah dibaca Ibel dengan tawa yang tertahan di dada. Isinya :
Sariminati…mengapa kau begitu tega memutuskanku hanya gara-gara aku mencoret foto Shandy Manaf yang kau pajang di pintu kamarmu… by ♥~Haris~♥
Emon dan Ibel lantas pamit pada Mom Esti. Mereka menuju ke rumahnya masing-masing. Emon naik angkot ke terminal mardika dan melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkot jurusan kebun cengkeh. Sedangkan Ibel terus berjalan menulusuri trotoar. Matahari masih begitu hangat menyapa bumi. Kendaraan-kendaraan berlalu. Orang-orang kelihatan sibuk di sana-sini. Tidak terasa bahwa itu adalah hari minggu. Hari untuk beristirahat tenang di rumah. Langit yang beberapa hari sebelumnya terlihat mendung tampak cerah minggu itu. Secerah persahabatan yang mereka lewati. Dan semoga terus terjalin. Indah dan akan selalu indah.
[1] Makanan khas Buton, yang sudah berabad-abad merajalela dan menjadi rival abadi sagu lempeng di kota Ambon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar