Minggu, 23 September 2012

Islam dan Hukum Karma

HUKUM KARMA

ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy –saddadahulloh-
Ahad 29 Syawwal 1433H
Darul Hadist Dammaj -harosahallohu-
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله، نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، أما بعد:
Istilah hukum karma, banyak didengar dan mungkin sudah populer di lisan-lisan sebagian kaum muslimin. Tak lain sebabnya, karena terlalu lapangnya pola interaksi antar agama dan terlalu gampangnya pemahaman-pemahaman luar Islam masuk lewat media-media informasi yang notabene telah menjadi “makanan pokok” bagi sebagian orang, wallohul musta’an. Jadi jangan heran jika anda melihat sebagian orang terlihat kurang peka –bahkan cenderung lalai- dengan sesuatu yang merusak akidahnya bahkan menganggap baik atau wajarnya perkara tersebut.
Pembahasan yang –insya Alloh- akan kita lewati, terkait dengan keyakinan pokok pada agama Hindu ataupun Buddha (sebagaimana di Sutta Pitaka), bahwasanya kebaikan mesti mendatangkan kebaikan dan kejelekan mesti mendatangkan kejelekan. Dari landasan tersebut muncullah berbagai pertanyaan: “Bagaimana caranya kebaikan bisa mendatangkan kebaikan (dan sebaliknya)?, Siapakah yang mengatur itu semua?, Kapan terjadinya?”. Sebagai jawabannya, mereka memakai HUKUM KARMA. 

SEKILAS MENGENAI KARMA
Karma berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti amalan. Hakikat karma adalah setiap amalan yang dilakukan seorang manusia baik berupa perkataan, perbuatan ataupun amalan. Bisa juga dikatakan bahwa karma adalah seluruh kehidupan manusia.[1]
Karma memiliki sebab dan memiliki akibat (buah). Karma yang baik akan datang dengan akibat yang baik dan karma yang jelek akan datang dengan akibat yang jelek. Mereka meyakini bahwa kejelekan ataupun kebaikan yang mereka dapatkan adalah akibat perbuatan mereka di kehidupan yang lalu (keyakinan reinkarnasi).

AKIDAH-AKIDAH KARMA PADA AGAMA-AGAMA YANG BERKEMBANG DARI INDIA
Keyakinan karma telah dahulu diyakini kelompok-kelompok kerpercayaan dan filsafat-filsafat di India, seperti Brahmiyyah (yang terkadang disebut sebagai Hindu), Buddha, Jainiyyah dan sebagainya dari kelompok-kelompok agama di India. Semua kelompok ini sepakat akan adanya hukum karma serta adanya reinkarnasi baik dalam jasad manusia ataupun hewan sesuai dengan baik tidaknya amalan mereka, yakni sesuai dengan karma.

Pada kepercayaan Brahmiyyah terdapat perincian yang jelas bahwasanya nasib seseorang di dalam kehidupannya ini tidak lain buah dari kehidupannya yang lalu, sementara amalannya sekarang akan “membantu” keadaan seseorang ketika dilahirkan pada kehidupan yang akan datang. Seseorang yang berbuat kejelekan dengan anggota badannya akan “lahir” sebagai benda mati pada kehidupan berikutnya, seseorang yang berbuat kejelekan dengan lisannya, akan menjadi burung atau hewan, sementara orang yang berbuat kejelekan dengan akan terlahir sebagai kasta terendah.[2]
Maka keyakinan karma inilah yang menjadi landasan pembagian kasta, bahwasanya setiap kasta merupakan buah karma pada kehidupan mereka sebelumnya, sehingga tidak ada alasan bagi kasta yang rendah untuk keberatan, tidak puas atau dengki dengan kasta yang diatasnya, karena keberadaannya pada kastanya adalah akibat karmanya sendiri di kehidupan yang lalu. Hukum karma inilah –di sisi Brahmiyyah- yang menjadi dasar bagi setiap kasta untuk tunduk dan puas dengan keadaannya.

Agama Buddha pada asalnya adalah pecahan Hindu dimana pendirinya Sidharta berasal dari kasta Ksatriya (kasta level 2), dimana dia menyerukan persamaan kedudukan meniadakan pembedaan kasta. Beda agama Buddha dengan Brahmiyyah, bahwasanya Brahmiyyah meyakini semua sesembahan (baik berupa hewan-hewan atau berhala yang merupakan symbol dewa mereka) berkumpul dalam satu tuhan yang mereka sebut dengan Maha Brahma[3] semua perkara yang terjadi mengikut pada takdir dan ketetapannya. Brahmiyyah meyakini pada setiap benda terdapat atma yaitu zat asal dari Maha Brahma, sehingga tujuan kehidupan mereka adalah Moksha (terkadang disebut juga Nirwana) yaitu kembali menyatu dengan tuhan mereka sumber segala ruh (keyakinan Wihdatul Wujud di sisi sufi), sesuai dengan hukum karma dan reinkarnasi.[4]

Sementara agama Buddha tidak meyakini itu, mereka berpatokan kepada usaha manusia baik ilmu atau amalan, karena itulah banyak orang melihat bahwa filsafat tentang adab, akhlak dan tingkah laku pada agaman Buddha lebih dominan dari perkara ketuhanan[5]. Mereka meyakini bahwa hukum karma bukanlah tuhan melainkan tempat berhukum semua yang ada, baik tuhan-tuhan, manusia ataupun selain mereka.[6] Sementara perjalanan akhir Buddha adalah Nirwana (atau fana’ di kalangan sufi) yaitu kefanaan[7], dimana jiwa sudah terlepas dari segala keinginan dan syahwat sehingga tidak bisa masuk lagi ke siklus reinkarnasi.

Brahmiyyah meyakini pengaturan kasta berdasar nasab, sementara Buddha mengingkarinya dan berpendapat bahwa nasab tidak berpengaruh apa-apa, mereka mengembalikan semuanya kepada usaha dan upaya yang dilakukan oleh manusia, karena itulah untuk menentang keyakinan Brahmiyyah ini, agama Buddha menolak adanya takdir dan ketetapan dari tuhan Brahman. Buddha memiliki juga perincian dalam hukum karma[8], diantaranya:
Orang yang senang menyiksa dan membunuh binatang. Maka pada kehidupan selanjutnya dia akan hidup sebagai hewan. Apabila karmanya selesai maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang  berumur pendek.
Pencuri akan dibangkitkan sebagai roh jahat atau hewan, jika karmanya selesai maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang melarat.
Pemabuk akan dibangkitkan sebagai roh jahat atau hewan, jika karmanya selesai maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai orang gila.
Pezina akan dibangkitkan sebagai roh jahat atau hewan, jika karmanya selesai maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang terzholimi
Adapun orang yang ketika hidup tidak mau mabuk maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang cerdas, dihormati di kalangan manusia. dsb

Jainiyyah adalah aliran yang muncul sezaman dengan Buddha. Pendirinya juga berasal dari kasta ksatria sezaman dengan Sidharta. Karena itu dalam kitab-kitab suci Buddha banyak dimuat perdebatan antara Sidharta dengan para Rahib Jainiyyah. Adapun karma di sisi Jainiyyah sebagaimana keyakinan agama Buddha, karena Jainiyyah meyakini bahwa berlangsungnya kehidupan ini adalah karena karma yang muncul  sebab keterkaitan antara ruh dan materi. Mereka meyakini bahwa ruh dan materi tidak ada penciptanya, keduanya terdahulu dan ada dengan sendirinya. Ruh-ruh yang bisa selamat dari siklus reinkarnasi, itulah yang menjadi tuhan bagi mereka.

Namun berbeda dengan agama Buddha, Jainiyyah meyakini bahwa seluruh kehidupan manusia saat ini adalah buah dari kehidupan manusia sebelumnya, manusia tidak bisa mengubahnya sedikitpun. Adapun Buddha meyakini bahwa manusia bisa mengubah keadaannya pada kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang[9], sehingga apa yang mereka alami hari ini sebagiannya adalah buah dari perbuatan mereka dalam kehidupan ini dan sebagiannya merupakan buah dari perbuatan mereka di kehidupan sebelumnya.

PENDAPAT ADANYA HUKUM KARMA ADALAH PENDAPAT ADANYA REINKARNASI
Keyakinan hukum karma ini berbuah pada reinkarnasi, karena ketika mereka melihat pada kenyataan bahwa sering perbuatan manusia tidak terlihat balasannya semasa hidupnya. Seorang yang zholim bisa saja mati sebelum mendapatkan balasan atas kezholimannya, demikian juga orang yang beramal kebajikan belum tentu mendapatkan hasilnya dalam kehidupannya. Karena itulah butuh kepada “kehidupan-kehidupan” yang banyak, sehingga balasan dapat terpenuhi jika tidak didapatkan pada kehidupan ini.

Minggu, 05 Agustus 2012

Mengenal SYIRIK (menyekutukan Alloh)


Makna serta Pembagian Syirik

Para Ulama telah membagi kesyirikan menjadi dua, yaitu syirik besar (akbar) dan syirik kecil (asgar). Syirik besar adalah seorang yang mengadakan tandingan bagi Allah Ta’ala dalam perkara rububiyah, uluhiyah dan asma’ was shifat (lihat Ma’arijul Qobul, 2/483, Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/516).

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Syirik besar adalah seorang yang mengadakan tandingan bagi Allah, sehingga ia berdoa kepada tandingan tersebut sebagaimana ia berdoa kepada Allah, atau ia takut, harap dan cinta kepadanya sebagaimana cintanya kepada Allah, atau ia mempersembahkan kepadanya satu bentuk ibadah.” (Al-Qoulus Sadid Syarh Kitabit Tauhid, hal. 24)
Adapun syirik kecil adalah semua perkara haram yang bisa menjadi sarana (wasilah) atau pengantar (dzari’ah) kepada syirik besar dan terdapat dalil penamaan syirik terhadapnya (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/517).

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan, “Syirik kecil adalah semua bentuk perkataan maupun perbuatan yang bisa mengantarkan kepada syirik besar, seperti ghuluw (berlebih-lebihan) dalam mengagungkan makhluq yang tidak sampai beribadah kepadanya, bersumpah dengan nama selain Allah, riya’ yang ringan dan yang semisalnya.” (Al-Qoulus Sadid, hal. 24, lihat Al-Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, 1/139)

Perbedaan Syirik Besar dan Syirik Kecil

Perbedaan syirik besar dan syirik kecil penting untuk dipahami karena masing-masing dari kedua bentuk syirik ini memiliki hukum dan konsekuensi tersendiri. Untuk lebih jelasnya, inilah sejumlah perbedaan antara syirik besar dan syirik kecil:

1. Syirik besar menyebabkan pelakunya murtad, keluar dari Islam dan diberlakukan padanya hukum-hukum kepada orang yang murtad dari Islam. Sedangkan syirik kecil tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam dan tidak diberlakukan padanya hukum-hukum kepada orang yang murtad dari Islam.

2. Pelaku syirik besar tidak akan mendapat ampunan Allah jika ia mati sebelum bertaubat. Adapun pelaku syirik kecil terdapat perbedaan pendapat para Ulama dalam masalah ini. Pendapat pertama, pelaku syirik kecil di bawah kehendak Allah Ta’ala apakah diampuni atau tidak, berdasarkan dalil firman Allah Ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa’: 48, 116)
Pendapat kedua, pelaku syirik kecil tidak diampuni, berdasarkan dalil yang sama. Sebab ayat tersebut berlaku umum, mencakup syirik besar dan syirik kecil (lihat Al-Qoulul Mufid, 1/ 141).

3. Syirik besar menghapus semua amalan pelakunya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
Juga firman Allah Ta’ala:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan terhapuslah amalanmu.” (Az-Zumar: 65)
Sedangkan syirik kecil hanya menghapus amalan yang menyertainya, seperti jika seseorang berbuat riya’ dalam ibadahnya maka terhapuslah amalannya tersebut namun tanpa menghapus amalannya yang telah ia kerjakan dengan ikhlas.

4. Syirik besar menyebabkan pelakunya kekal di neraka, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” (Al-Maidah: 72)

Sedangkan syirik kecil tidak sampai mengekalkan pelakunya di neraka.
Peringatan: Penyebutan syirik kecil bukanlah berarti bahwa dosanya kecil, bahkan syirik kecil adalah dosa terbesar setelah syirik besar. Hanya saja dikategorikan kecil apabila dibandingkan dengan syririk besar. Sama halnya penyebutan dosa kecil bukanlah berarti bahwa dosa tersebut boleh diremehkan, tetapi maksudnya kecil jika dibandingkan dengan dosa besar.

Sehingga Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menjauhi semua bentuk syirik (besar maupun kecil) maka terhapuslah dosa-dosa besarnya, karena dosa-dosa besar itu jika dibandingkan dengan syirik sama dengan perbandingan antara dosa kecil dan dosa besar. Jadi, jika dosa-dosa kecil bisa terhapus dengan menjauhi dosa-dosa besar maka dosa-dosa besar pun bisa terhapus dengan menjauhi kesyirikan.” (I’lamul Muwaqqi’in, 1/226)

Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah juga berkata dalam mengomentari permasalahan bersumpah dengan selain nama Allah Ta’ala, “Dan sungguh telah salah orang yang mengatakan bahwa hukum bersumpah dengan selain nama Allah Ta’ala hanya makruh, padahal pemilik syari’at mengkategorikannya sebagai perbuatan syirik (kecil), sedang tingkatannya lebih besar dari dosa besar.” (I’lamul Muwaqqi’in, 4/403)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Di dalamnya terdapat dalil atas perkataan sahabat, bahwa syirik kecil lebih besar dosanya dibanding al-kabaair (dosa-dosa besar).” (Kitabut Tauhid, masalah ketiga dari Bab Minasy-Syirki Lubsul Halqati wal Khoythi wa Nahwihima, lihat al-Qoulul Mufid, 1/217-218)

Bahaya Syirik
Adapun diantara bahaya perbuatan syirik adalah sebagai berikut:
Pertama: Syirik adalah dosa dan kezhaliman terbesar
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata pada anaknya saat ia memberi pelajaran padanya, “Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan-Nya adalah kezhaliman yang besar”.” (Luqman: 13)
Sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan:
سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الذنب أعظم قال أن تجعل لله نداً وهو خلقك
Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “Dosa apakah yang paling besar?” Beliau menjawab: “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia yang menciptakanmu”.” (HR. Al-Bukhari, no. 4207 dan Muslim, no. 267)

Rasulullah shallallahhu’alaihi wa sallam juga mengingatkan para sahabat akan bahaya syirik ini dalam sabdanya:
ألا أنبئكم بأكبر الكبائر ثلاثاً قلنا بلى يا رسول الله قال الإشراك بالله وعقوق الوالدين
“Maukah kalian aku kabarkan tentang dosa yang paling besar?”, kami (sahabat) mengatakan: “Tentu wahai Rasulullah”, lalu beliau mengatakan: “(Dosa yang paling besar) adalah menyekutukan Allah dan (selanjutnya) durhaka pada kedua orang tu.” (HR. Al-Bukhari, no. 2511 dan Muslim, no. 269)

Kedua: Terhapusnya amalan
Apabila seseorang melakukan syirik maka terhapuslah semua pahala yang pernah ia dapatkan dan kebaikan yang pernah ia kerjakan. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
Juga firman Allah Ta’ala:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan terhapuslah amalanmu.” (Az-Zumar: 65)

Ketiga: Dosa yang tidak terampuni
Jika seorang berbuat syirik dan mati sebelum ia bertaubat darinya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan pernah mengampuni dosanya untuk selama-lamanya. Sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa’: 48, 116)

Keempat: Kekal di neraka
Seorang yang mati dalam keadaan musyrik diharamkan masuk surga, maka tempat kediamannya kelak pasti di neraka jahannam dan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya ia merasakan adzab yang sangat pedih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” (Al-Maidah: 72)

Kelima: Orang-orang musyrik adalah makhluq yang paling hina
Orang-orang musyrik adalah makhluq yang paling hina yang pernah tercipta di dunia ini dan terlebih lagi di akhirat, bahkan mereka lebih hina dari binatang ternak. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluq.” (Al-Bayyinah: 6)
Juga firman Allah Ta’ala:
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami!? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqon: 44)

Keenam: Syirik adalah penyebab kebinasaan
Syirik adalah sebab kebinasaan, musibah dan malapetaka yang menimpa manusia, bahkan sebab kehancuran alam semesta. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا
“Dan mereka berkata, “(Allah) Yang Maha Penyayang mempunyai anak.” Sesungguhnya (dengan perkataan itu) kamu telah mendatangkan suatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, serta gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Penyayang mempunyai anak”.” (Maryam: 88-91)
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan:
اجتنبوا السبع الموبقات قالوا يا رسول الله وما هن قال الشرك بالله والسحر وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق وأكل الربا وأكل مال اليتيم والتولي يوم الزحف وقذف المحصنات المؤمنات الغافلات
“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”, Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah apakah tujuh perkara yang membinasakan itu?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan harta anak yatim, memakan riba’, lari dari medan perang (jihad), menuduh berzina wanita mu’minah padahal dia tidak tahu menahu (dengan zina tersebut)”.” (HR. Al-Bukhari, no. 2615 dan Muslim, no. 272)

Ketujuh: Seorang musyrik diharamkan menikahi seorang muslim
Diharamkan bagi seorang laki-laki musyrik untuk menikahi wanita muslimah, demikian pula sebaliknya, seorang laki-laki muslim diharamkan menikahi wanita musyrikah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqoroh: 221)

Kedelapan: Tidak boleh menshalatkan dan mendoakan orang yang mati dalam keadaan musyrik
Tidak boleh menshalatkan dan mendoakan orang yang mati dalam keadaan musyrik meskipun keluarga terdekat, bahkan keluarga para Nabi sekalipun, sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mendoakan pamannya Abu Thalib meski jasa besarnya dalam membela Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan juga Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dilarang untuk mendoakan bapaknya yang mati dalam keadaan musyrik. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu sekali kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati diantara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoaka ) di kuburannya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (At Taubah: 84)
Juga firman Allah Ta’ala:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيم
“Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang orang yang beriman memintakan ampun ( kepada Allah ) bagi orang orang musyrik, walaupun mereka itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahim.” (At-Taubah: 113)

Kesembilann: Hilangnya hak seorang musyrik untuk mewarisi harta kerabatnya yang muslim
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم
“Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang muslim.” ( HR. Al-Bukhari, no. 1511 dan Muslim, no. 4225)

Kesepuluh: Sembelihan seorang musyrik haram dimakan
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (Al-An’am: 121)
Ini hanyalah sebagian saja dari banyaknya bahaya yang ditimbulkan dari perbuatan syirik, maka himpunlah hati dan pikiran Anda untuk menghayati dan memahami betapa besar kemarahan Allah Tabaraka wa Ta’ala terhadap kesyirikan dan pelakunya. Oleh karena itu, tidaklah pantas bagi seorang muslim meremehkan masalah ini.

Kamis, 07 Juni 2012

Amalan Tanpa Ilmu Laksana Fatamorgana


(ditulis oleh: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah)

Allah subhanawata’ala berfirman,
“Orang-orang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi ‘air’ itu, dia tidak mendapati apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (an-Nur: 39—40)

Allah subhanawata’ala menyebutkan dua permisalan untuk orang-orang kafir, permisalan fatamorgana dan permisalan kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Ini karena orang-orang yang berpaling dari petunjuk dan kebenaran itu ada dua macam. Salah satunya adalah seseorang yang mengira bahwa dirinya di atas suatu kebenaran, lalu menjadi jelas baginya saat terbukti hakikatnya berbeda dengan apa yang dia kira. Inilah kondisi orang-orang yang bodoh dan kondisi para pengikut bid’ah. Mereka mengira bahwa mereka berada di atas petunjuk dan ilmu. Ketika hakikatnya tersingkap, menjadi jelas bagi mereka bahwa ternyata mereka tidak berada di atas petunjuk. Mereka juga tahu, keyakinan dan amal mereka yang berasal dari ilmu mereka, hanya fatamorgana yang berada di tanah datar, yang terlihat oleh mata yang memandangnya sebagai air padahal tiada nyatanya.

Demikian pula amalan-amalan yang bukan karena Allah subhanawata’ala dan tidak berlandaskan perintah-Nya. Si pelaku menyangkanya bermanfaat baginya, padahal tidak demikian. Amalan inilah yang dikatakan oleh Allah subhanawata’ala,
“Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23)

Coba perhatikan, bagaimana Allah subhanawata’ala menjadikan fatamorgana itu di atas tanah yang datar lagi kosong, tidak ada bangunan, pepohonan, dan tumbuhan. Di situlah tempat terjadinya fatamorgana: tanah yang kosong, tidak ada sesuatu. Memang, fatamorgana itu sesuatu yang tidak ada nyatanya. Permisalan ini sesuai dengan amalan dan kalbu mereka yang kosong dari
iman dan hidayah.
Perhatikanlah firman-Nya,

“Orang yang dahaga menyangkanya air….”
Artinya, ketika orang yang sangat dahaga melihat fatamorgana, mengiranya sebagai air sehingga ia mengejarnya. Tetapi, ternyata ia tidak mendapatkan apa-apa. Fatamorgana itu menipunya di saat ia sangat membutuhkan air. Demikian juga keadaan mereka. Ketika amal mereka bukan karena taat kepada Rasulullah salallahu’alai wasallam dan bukan karena Allah, amal mereka dijadikan laksana fatamorgana. Amalan itu akan ditampakkan kepada mereka saat mereka sangat kehausan dan sangat membutuhkannya, namun mereka tidak mendapatkan apa-apa. Mereka justru mendapati Allah subhanawata’ala yang akan membalas amal mereka dan akan memenuhi hisab mereka.

Dalam sebuah hadits tentang hari kiamat dalam kitab ash-Shahih, dari hadits sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu’anhu, dari Nabi salallahu’alaihi wasallam,
“Lalu didatangkan Jahannam dan ditampakkan laksana fatamorgana. Dikatakan kepada Yahudi, ‘Apa yang kalian sembah?’ Mereka mengatakan ‘Kami dahulu menyembah Uzair, putra Allah.’ Lantas dikatakan kepada mereka, ‘Kalian berdusta. Allah tidak memiliki istri dan anak, lantas apa yang kalian maukan sekarang?’ Mereka menjawab, ‘Kami menginginkan Engkau beri kami minum.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Minumlah!’ Akhirnya mereka berjatuhan di Jahannam. Kemudian dikatakan kepada orang-orang Nasrani, ‘Apa yang kalian sembah?’ Mereka menjawab, ‘Kami menyembah al-Masih, putra Allah.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Kalian dusta. Allah subhanawata’ala tidak memiliki istri atau anak, lantas apa yang kalian inginkan?’ Mereka menjawab, ‘Kami menginginkan Engkau memberi kami minum.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Minumlah!’ Akhirnya mereka berjatuhan….”

Inilah kondisi setiap pelaku kebatilan. “Kebaikan” mereka akan mengkhianati mereka saat mereka sangat membutuhkannya, karena kebatilan itu tidak ada nyatanya. Sama dengan namanya, batil (yang dalam bahasa Arab berarti ‘sesuatu yang akan lenyap’), jika sebuah keyakinan tidak sesuai dengan (tuntunan) dan tidak benar, yang terkait dengannya juga batil.

Demikian pula jika tujuan sebuah amalan itu batil, seperti beramal karena selain Allah subhanawata’ala atau tidak di atas perintah-Nya, amalnya batil dengan sebab kebatilan tujuannya. Pelakunya akan merasa celaka karena sia-sianya amal tersebut. Ia justru akan mendapatkan kebalikan dari apa yang dia angan-angankan… Ia tersiksa dengan lenyapnya manfaat amalannya dan perolehan yang sebaliknya. Oleh karena itu, Allah subhanawata’ala berfirman,
“Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (an-Nur: 39)

Inilah permisalan seseorang yang dia mengira dirinya berada di atas petunjuk.
Macam yang kedua, adalah pemilik permisalan kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan petunjuk, namun lebih mengutamakan kegelapan kebatilan dan kesesatan daripada kebenaran tersebut. Akhirnya, menumpuklah kegelapan tabiatnya, kegelapan jiwanya, kegelapan kebodohannya, dan kegelapan kesesatan serta hawa nafsu, yang mereka tidak mengamalkan ilmu mereka sehingga mereka menjadi bodoh.

Keadaan mereka laksana seseorang yang berada di lautan yang dalam lagi tidak bertepi, sementara itu ombak meliputinya. Di atas ombak itu ada ombak lagi. Di atasnya lagi ada awan yang gelap. Jadilah ia berada di kegelapan lautan, kegelapan ombak, dan kegelapan awan. Ini seperti kegelapan yang ia berada padanya. Kegelapan yang Allah subahanawata’ala tidak mengeluarkannya darinya menuju cahaya
iman.

Dua permisalan ini, permisalan fatamorgana yang dia kira sumber kehidupan, yaitu air, dan permisalan kegelapan-kegelapan yang berlawanan dengan cahaya, mirip dengan permisalan orang-orang munafik dan orang-orang mukmin, yaitu permisalan air dan api. Allah subhanawata’ala menjadikan bagian bagi mukminin dari keduanya adalah kehidupan dan cahayanya, sedangkan bagian untuk munafik adalah kegelapan yang merupakan lawan dari cahaya dan kematian yang merupakan lawan dari kehidupan.
Demikian juga orang-orang kafir dalam dua permisalan ini. Bagian mereka hanyalah fatamorgana yang menipu orang yang melihatnya—sesuatu yang tidak ada kenyataannya—dan bagian mereka adalah kegelapan-kegelapan yang berlapis-lapis.

Bisa jadi, maksud ayat ini adalah keadaan salah satu dari kelompok-kelompok orang kafir. Mereka kehilangan sumber kehidupan dan cahaya karena mereka berpaling dari wahyu. Oleh karena itu, dua permisalan ini adalah untuk satu golongan.
Namun, bisa jadi pula, maksudnya adalah macam-macam keadaan orang kafir. Permisalan pertama adalah mereka yang beramal tanpa ilmu, hanya dengan kebodohan dan baik sangka terhadap para pendahulu (nenek moyangnya). Mereka mengira telah berbuat baik. Adapun permisalan kedua adalah bagi yang lebih menyukai kesesatan daripada petunjuk dan mendahulukan yang batil daripada yang haq. Mereka buta padahal sebelumnya melihatnya. Mereka pun mengingkari padahal sebelumnya mengetahui. Inilah keadaan orang-orang yang dimurkai. Adapun yang pertama adalah keadaan orang-orang yang sesat.
(diterjemahkan dan disusun dari beberapa buku Ibnul Qayyim)

Selasa, 10 Januari 2012

Tabayyun Menurut Ahlus Sunnah

” Berbeda Dengan Hawa Nafsu Ahlul Bid’ah “

Disusun Oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Qudsi Al Indunisiy
Di Darul Hadits Salafiyyah Dammaj Yaman
-semoga Alloh menjaganya-
Malam Rabu, tanggal 11 Shofar 1433 H
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي قال: }وما أمروا إلا ليعبدوا اللَّه مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك دين القيمة{ وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمداً عبده ورسوله الذي قال: ((إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى. فمَنْ كانت هجرته إِلَى اللَّه ورسوله فهجرته إِلَى اللَّه ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إِلَى ما هاجر إليه)) اللهم صل وسلم على محمد وآله أجمعين أما بعد:
Sesungguhnya Alloh ta’ala telah menurunkan Al Qur’an untuk menjadi petunjuk bagi para hamba-Nya. Alloh ta’ala berfirman:
إِنَّ هَـذَا الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,” (QS. Al Isro: 9).
Dan Alloh telah memudahkan Al Qur’an bagi kaum Mukminin yang niatnya bersih, dan bersungguh-sungguh mencurahkan daya untuk mempelajari dan memahaminya. Alloh ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ
“Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al Qomar: 17).
Juga berfirman:
﴿وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ ﴾
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk mencari keridhoan Kami, pastilah Kami akan memberi mereka petunjuk kepada jalan-jalan keridhoan Kami, dan sesungguhnya Alloh itu benar-benar bersama dengan orang yang berbuat ihsan.” (QS Al ‘Ankabut 67)
Akan tetapi para pengekor hawa nafsu terhalangi dari memahami Al Qur’an. Alloh ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهَا وَنَسِيَ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ إِنَّا جَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَن يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْراً وَإِن تَدْعُهُمْ إِلَى الْهُدَى فَلَن يَهْتَدُوا إِذاً أَبَداً
“Dan siapakah yang lebih zholim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Robbnya lalu dia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan sekalipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.” (QS. Al Kahfi: 57).
Di antara contoh kasus nyata ketidakpahaman para pengekor hawa nafsu terhadap Al Qur’an adalah slogan mereka untuk MENGHARUSKAN MANUSIA UNTUK TABAYYUN (MENCARI KEJELASAN) KEPADA PIHAK MEREKA SECARA LANGSUNG, DALAM BERITA YANG DIRASA MERUGIKAN PIHAK MEREKA, SEKALIPUN TELAH ADA BUKTI DAN SAKSI. [1]
Perkara ini telah saya jelaskan dalam kandungan beberapa risalah, akan tetapi berhubung ada permintaan untuk menjelaskannya lagi dan terulang-ulangnya pengkaburan yang dilakukan oleh para hizbiyyun, maka saya dengan memohon pertolongan kepada Alloh akan berusaha memenuhinya, semoga Alloh memberikan keberkahan di dalamnya. Wabillahittaufiq:

Bab Satu:
Dalil Yang Dipakai Ahlul Ahwa Dalam Mengharuskan Adanya “Tabayyun” Terhadap Berita Orang Yang Terpercaya

Beberapa ikhwah Salafiyyun telah beberapa kali menantang Ahlul Ahwa untuk menampilkan dalil yang mereka pakai untuk mengharuskan Adanya “Tabayyun” terhadap berita tsiqoh (Orang Yang Terpercaya), ternyata mereka berdalilkan firman Alloh ta’ala:
]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ [ [الحجرات/6]
Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian seorang fasiq dengan suatu berita, maka carilah kejelasan, jangan sampai kalian menimpakan kecelakaan pada suatu kaum dengan ketidaktahuan sehingga jadilah kalian menyesal dengan apa yang kalian lakukan.” (QS Al Hujurot 6).
Mereka berkata: dalam ayat ini Alloh memerintahkan untuk tabayyun terhadap berita!
Di antara ahlul ahwa ada yang berdalilkan dengan kisah Umar ibnul Khoththob dan Abu Musa Al Asy’ariy رضي الله عنهما :
: جاء أبو موسى إلى عمر بن الخطاب فقال السلام عليكم هذا عبدالله بن قيس فلم يأذن له فقال السلام عليكم هذا أبو موسى السلام عليكم هذا الأشعري ثم انصرف فقال ردوا علي ردوا علي فجاء فقال يا أبا موسى ما ردك ؟ كنا في شغل قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول: (الاستئذان ثلاث فإن أذن لك وإلا فارجع ) قال لتأتيني على هذا ببينة وإلا فعلت وفعلت فذهب أبو موسى
قال عمر إن وجد بينة تجدوه عند المنبر عشية وإن لم يجد بينة فلم تجدوه فلما أن جاء بالعشي وجدوه قال يا أبا موسى ما تقول ؟ أقد وجدت ؟ قال نعم أبي بن كعب قال عدل قال يا أبا الطفيل ما يقول هذا ؟ قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ذلك يا ابن الخطاب فلا تكونن عذابا على أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم قال سبحان الله إنما سمعت شيئا فأحببت أن أتثبت . (أخرجه مسلم [2154]).
“Datanglah Abu Musa kepada Umar ibnul khoththob seraya berkata: “Assalamu’alaikum, ini Abdulloh bin Qois.” Tapi beliau tidak diidzinkan masuk. Lalu beliau berkata lagi: “Assalamu’alaikum, ini Abu Musa.” “Assalamu’alaikum, ini Al Asy’ariy”. Kemudian beliaupun pulang. Maka Umar ibnul khoththob berkata: “Kembalikan dia kepadaku, kembalikan dia kepadaku,” maka datanglah Abu Musa. Maka Umar berkata: “Wahai Abu Musa, apa yang membuat Anda kembali? Kami tadinya sedang dalam kesibukan.” Maka Abu Musa menjawab: “Saya mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Meminta idzin itu tiga kali, jika engkau diidzinkan maka masuklah, jika tidak maka kembalilah.”
Umar berkata: “Engkau harus mendatangkan padaku bayyinah (bukti) atas kebenaran adanya hadits ini. Jika tidak maka aku akan menindakmu.” Maka pergilah Abu Musa. Umar berkata (pada orang-orang di sampingnya): “Jika dia mendapatkan bayyinah, kalian akan mendapatinya ada di samping mimbar sore ini. Tapi jika dia tidak mendapatkan bayyinah kalian tak akan mendapatinya.” Manakala Abu Musa datang pada sore hari, mereka mendapatinya di mimbar. Maka Umar berkata: “Wahai Abu Musa, apa yang akan engkau katakan? Apakah engkau telah mendapatinya?” beliau menjawab: “Iya, Ubai bin Ka’b.” Umar berkata: “Adil. Wahai Abuth Thufail, apa sih yang diucapkan olehnya?” Ubai bin Ka’b menjawab: “Aku mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم mengucapkan itu. Wahai Ibnul Khoththob, janganlah engkau menjadi siksaan terhadap para Shohabat Rosululloh صلى الله عليه وسلم.” Maka Umar menjawab: “Subhanalloh, aku hanyalah mendengar sesuatu lalu aku ingin mencari ketetapan.” (HR. Muslim (2154) dengan lafazh ini. Asal hadits juga diriwayatkan Al Bukhoriy (2062)).
Mereka berkata: di dalam kisah ini Umar ibnul Khoththob ingin tatsabbut terhadap kabar Abu Musa!
Mereka juga punya syubhat: Orang tsiqoh juga bisa keliru!

Bab Dua:
Bantahan Terhadap Pendalilan Ahlul Ahwa dengan Ayat “Tabayyun”

Firman Alloh ta’ala:
]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ [ [الحجرات/6]
Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian seorang fasiq dengan suatu berita, maka carilah kejelasan, jangan sampai kalian menimpakan kecelakaan pada suatu kaum dengan ketidaktahuan sehingga jadilah kalian menyesal dengan apa yang kalian lakukan.” (QS Al Hujurot 6)
Jawaban pertama: Ayat ini bukanlah memerintahkan kita untuk bertabayyun terhadap berita secara mutlak, hanya saja perintah ini ditujukan kepada kita jika ada ORANG FASIQ datang membawa berita.
Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata:
يأمر تعالى بالتثبت في خبر الفاسق ليُحتَاطَ له، لئلا يحكم بقوله فيكون -في نفس الأمر-كاذبًا أو مخطئًا، فيكون الحاكم بقوله قد اقتفى وراءه، وقد نهى الله عن اتباع سبيل المفسدين. تفسير ابن كثير [7 /370]
“Alloh ta’ala memerintahkan untuk tatsabbut (mencari ketetapan) tentang kabar dari orang fasiq agar disikapi dengan hati-hati agar tidak ditegakkan hukuman berdasarkan ucapannya sehingga jadilah –kenyataannya- dia berdusta atau salah, sehingga jadilah orang yang menghukumi dengan perkataan si fasiq tadi telah berjalan di belakangnya, padahal Alloh telah melarang untuk mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/7/hal. 370).
Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata:
وقد دلت هذه الآية من سورة الحجرات على أمرين :الأول منهما : أن الفاسق إن جاء بنبإ ممكن معرفة حقيقته ، وهل ما قاله فيه الفاسق حق أو كذب فإنه يجب فيه التثبت .(أضواء البيان في تفسير القرآن بالقرآن [7 /469]
“Ayat dari suroh Al Hujurot ini menunjukkan kepada dua perkara. Yang pertama adalah: bahwasanya orang fasiq jika datang dengan suatu berita yang memungkinkan untuk diketahui hakikatnya: dan apakah yang dikatakan si fasiq ini benar ataukah dusta, maka wajib untuk tatsabbut di situ.” (“Adhwaul Bayan”/7/hal. 469).
Sementara kasus kita sekarang ini adalah: seorang salafiy adil tsiqoh datang dengan persaksian bahwa si fulan berkata demikian dan demikian, atau datang dengan membawa rekaman muhadhoroh terbuka yang isinya si fulan berkata demikian dan demikian. Maka sangat tidak pantas menjadikan ayat yang berlaku untuk orang fasiq ditimpakan kepada orang tsiqoh.
Alloh ta’ala berfirman:
أًمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أّن نَّجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاء مَّحْيَاهُم وَمَمَاتُهُمْ سَاء مَا يَحْكُمُونَ
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS. Al Jatsiyah:21)
Lebih jelasnya lagi adalah: