Minggu, 23 September 2012

Islam dan Hukum Karma

HUKUM KARMA

ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy –saddadahulloh-
Ahad 29 Syawwal 1433H
Darul Hadist Dammaj -harosahallohu-
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله، نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، أما بعد:
Istilah hukum karma, banyak didengar dan mungkin sudah populer di lisan-lisan sebagian kaum muslimin. Tak lain sebabnya, karena terlalu lapangnya pola interaksi antar agama dan terlalu gampangnya pemahaman-pemahaman luar Islam masuk lewat media-media informasi yang notabene telah menjadi “makanan pokok” bagi sebagian orang, wallohul musta’an. Jadi jangan heran jika anda melihat sebagian orang terlihat kurang peka –bahkan cenderung lalai- dengan sesuatu yang merusak akidahnya bahkan menganggap baik atau wajarnya perkara tersebut.
Pembahasan yang –insya Alloh- akan kita lewati, terkait dengan keyakinan pokok pada agama Hindu ataupun Buddha (sebagaimana di Sutta Pitaka), bahwasanya kebaikan mesti mendatangkan kebaikan dan kejelekan mesti mendatangkan kejelekan. Dari landasan tersebut muncullah berbagai pertanyaan: “Bagaimana caranya kebaikan bisa mendatangkan kebaikan (dan sebaliknya)?, Siapakah yang mengatur itu semua?, Kapan terjadinya?”. Sebagai jawabannya, mereka memakai HUKUM KARMA. 

SEKILAS MENGENAI KARMA
Karma berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti amalan. Hakikat karma adalah setiap amalan yang dilakukan seorang manusia baik berupa perkataan, perbuatan ataupun amalan. Bisa juga dikatakan bahwa karma adalah seluruh kehidupan manusia.[1]
Karma memiliki sebab dan memiliki akibat (buah). Karma yang baik akan datang dengan akibat yang baik dan karma yang jelek akan datang dengan akibat yang jelek. Mereka meyakini bahwa kejelekan ataupun kebaikan yang mereka dapatkan adalah akibat perbuatan mereka di kehidupan yang lalu (keyakinan reinkarnasi).

AKIDAH-AKIDAH KARMA PADA AGAMA-AGAMA YANG BERKEMBANG DARI INDIA
Keyakinan karma telah dahulu diyakini kelompok-kelompok kerpercayaan dan filsafat-filsafat di India, seperti Brahmiyyah (yang terkadang disebut sebagai Hindu), Buddha, Jainiyyah dan sebagainya dari kelompok-kelompok agama di India. Semua kelompok ini sepakat akan adanya hukum karma serta adanya reinkarnasi baik dalam jasad manusia ataupun hewan sesuai dengan baik tidaknya amalan mereka, yakni sesuai dengan karma.

Pada kepercayaan Brahmiyyah terdapat perincian yang jelas bahwasanya nasib seseorang di dalam kehidupannya ini tidak lain buah dari kehidupannya yang lalu, sementara amalannya sekarang akan “membantu” keadaan seseorang ketika dilahirkan pada kehidupan yang akan datang. Seseorang yang berbuat kejelekan dengan anggota badannya akan “lahir” sebagai benda mati pada kehidupan berikutnya, seseorang yang berbuat kejelekan dengan lisannya, akan menjadi burung atau hewan, sementara orang yang berbuat kejelekan dengan akan terlahir sebagai kasta terendah.[2]
Maka keyakinan karma inilah yang menjadi landasan pembagian kasta, bahwasanya setiap kasta merupakan buah karma pada kehidupan mereka sebelumnya, sehingga tidak ada alasan bagi kasta yang rendah untuk keberatan, tidak puas atau dengki dengan kasta yang diatasnya, karena keberadaannya pada kastanya adalah akibat karmanya sendiri di kehidupan yang lalu. Hukum karma inilah –di sisi Brahmiyyah- yang menjadi dasar bagi setiap kasta untuk tunduk dan puas dengan keadaannya.

Agama Buddha pada asalnya adalah pecahan Hindu dimana pendirinya Sidharta berasal dari kasta Ksatriya (kasta level 2), dimana dia menyerukan persamaan kedudukan meniadakan pembedaan kasta. Beda agama Buddha dengan Brahmiyyah, bahwasanya Brahmiyyah meyakini semua sesembahan (baik berupa hewan-hewan atau berhala yang merupakan symbol dewa mereka) berkumpul dalam satu tuhan yang mereka sebut dengan Maha Brahma[3] semua perkara yang terjadi mengikut pada takdir dan ketetapannya. Brahmiyyah meyakini pada setiap benda terdapat atma yaitu zat asal dari Maha Brahma, sehingga tujuan kehidupan mereka adalah Moksha (terkadang disebut juga Nirwana) yaitu kembali menyatu dengan tuhan mereka sumber segala ruh (keyakinan Wihdatul Wujud di sisi sufi), sesuai dengan hukum karma dan reinkarnasi.[4]

Sementara agama Buddha tidak meyakini itu, mereka berpatokan kepada usaha manusia baik ilmu atau amalan, karena itulah banyak orang melihat bahwa filsafat tentang adab, akhlak dan tingkah laku pada agaman Buddha lebih dominan dari perkara ketuhanan[5]. Mereka meyakini bahwa hukum karma bukanlah tuhan melainkan tempat berhukum semua yang ada, baik tuhan-tuhan, manusia ataupun selain mereka.[6] Sementara perjalanan akhir Buddha adalah Nirwana (atau fana’ di kalangan sufi) yaitu kefanaan[7], dimana jiwa sudah terlepas dari segala keinginan dan syahwat sehingga tidak bisa masuk lagi ke siklus reinkarnasi.

Brahmiyyah meyakini pengaturan kasta berdasar nasab, sementara Buddha mengingkarinya dan berpendapat bahwa nasab tidak berpengaruh apa-apa, mereka mengembalikan semuanya kepada usaha dan upaya yang dilakukan oleh manusia, karena itulah untuk menentang keyakinan Brahmiyyah ini, agama Buddha menolak adanya takdir dan ketetapan dari tuhan Brahman. Buddha memiliki juga perincian dalam hukum karma[8], diantaranya:
Orang yang senang menyiksa dan membunuh binatang. Maka pada kehidupan selanjutnya dia akan hidup sebagai hewan. Apabila karmanya selesai maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang  berumur pendek.
Pencuri akan dibangkitkan sebagai roh jahat atau hewan, jika karmanya selesai maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang melarat.
Pemabuk akan dibangkitkan sebagai roh jahat atau hewan, jika karmanya selesai maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai orang gila.
Pezina akan dibangkitkan sebagai roh jahat atau hewan, jika karmanya selesai maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang terzholimi
Adapun orang yang ketika hidup tidak mau mabuk maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang cerdas, dihormati di kalangan manusia. dsb

Jainiyyah adalah aliran yang muncul sezaman dengan Buddha. Pendirinya juga berasal dari kasta ksatria sezaman dengan Sidharta. Karena itu dalam kitab-kitab suci Buddha banyak dimuat perdebatan antara Sidharta dengan para Rahib Jainiyyah. Adapun karma di sisi Jainiyyah sebagaimana keyakinan agama Buddha, karena Jainiyyah meyakini bahwa berlangsungnya kehidupan ini adalah karena karma yang muncul  sebab keterkaitan antara ruh dan materi. Mereka meyakini bahwa ruh dan materi tidak ada penciptanya, keduanya terdahulu dan ada dengan sendirinya. Ruh-ruh yang bisa selamat dari siklus reinkarnasi, itulah yang menjadi tuhan bagi mereka.

Namun berbeda dengan agama Buddha, Jainiyyah meyakini bahwa seluruh kehidupan manusia saat ini adalah buah dari kehidupan manusia sebelumnya, manusia tidak bisa mengubahnya sedikitpun. Adapun Buddha meyakini bahwa manusia bisa mengubah keadaannya pada kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang[9], sehingga apa yang mereka alami hari ini sebagiannya adalah buah dari perbuatan mereka dalam kehidupan ini dan sebagiannya merupakan buah dari perbuatan mereka di kehidupan sebelumnya.

PENDAPAT ADANYA HUKUM KARMA ADALAH PENDAPAT ADANYA REINKARNASI
Keyakinan hukum karma ini berbuah pada reinkarnasi, karena ketika mereka melihat pada kenyataan bahwa sering perbuatan manusia tidak terlihat balasannya semasa hidupnya. Seorang yang zholim bisa saja mati sebelum mendapatkan balasan atas kezholimannya, demikian juga orang yang beramal kebajikan belum tentu mendapatkan hasilnya dalam kehidupannya. Karena itulah butuh kepada “kehidupan-kehidupan” yang banyak, sehingga balasan dapat terpenuhi jika tidak didapatkan pada kehidupan ini.