HUKUM KARMA
ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy –saddadahulloh-
Ahad 29 Syawwal 1433H
Darul Hadist Dammaj -harosahallohu-
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله، نحمده ونستعينه
ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله
فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك
له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، أما بعد:
Istilah hukum karma, banyak didengar
dan mungkin sudah populer di lisan-lisan sebagian kaum muslimin. Tak
lain sebabnya, karena terlalu lapangnya pola interaksi antar agama dan
terlalu gampangnya pemahaman-pemahaman luar Islam masuk lewat
media-media informasi yang notabene telah menjadi “makanan pokok” bagi
sebagian orang, wallohul musta’an. Jadi jangan heran jika anda
melihat sebagian orang terlihat kurang peka –bahkan cenderung lalai-
dengan sesuatu yang merusak akidahnya bahkan menganggap baik atau
wajarnya perkara tersebut.
Pembahasan yang –insya Alloh- akan kita
lewati, terkait dengan keyakinan pokok pada agama Hindu ataupun Buddha
(sebagaimana di Sutta Pitaka), bahwasanya kebaikan mesti mendatangkan kebaikan dan kejelekan mesti mendatangkan kejelekan. Dari
landasan tersebut muncullah berbagai pertanyaan: “Bagaimana caranya
kebaikan bisa mendatangkan kebaikan (dan sebaliknya)?, Siapakah yang
mengatur itu semua?, Kapan terjadinya?”. Sebagai jawabannya, mereka
memakai HUKUM KARMA.
SEKILAS MENGENAI KARMA
SEKILAS MENGENAI KARMA
Karma berasal dari bahasa Sansekerta
yang berarti amalan. Hakikat karma adalah setiap amalan yang dilakukan
seorang manusia baik berupa perkataan, perbuatan ataupun amalan. Bisa
juga dikatakan bahwa karma adalah seluruh kehidupan manusia.[1]
Karma memiliki sebab dan memiliki
akibat (buah). Karma yang baik akan datang dengan akibat yang baik dan
karma yang jelek akan datang dengan akibat yang jelek. Mereka meyakini
bahwa kejelekan ataupun kebaikan yang mereka dapatkan adalah akibat
perbuatan mereka di kehidupan yang lalu (keyakinan reinkarnasi).
AKIDAH-AKIDAH KARMA PADA AGAMA-AGAMA YANG BERKEMBANG DARI INDIA
Keyakinan karma telah dahulu diyakini
kelompok-kelompok kerpercayaan dan filsafat-filsafat di India, seperti
Brahmiyyah (yang terkadang disebut sebagai Hindu), Buddha, Jainiyyah
dan sebagainya dari kelompok-kelompok agama di India. Semua kelompok
ini sepakat akan adanya hukum karma serta adanya reinkarnasi baik dalam
jasad manusia ataupun hewan sesuai dengan baik tidaknya amalan mereka,
yakni sesuai dengan karma.
Pada kepercayaan Brahmiyyah
terdapat perincian yang jelas bahwasanya nasib seseorang di dalam
kehidupannya ini tidak lain buah dari kehidupannya yang lalu, sementara
amalannya sekarang akan “membantu” keadaan seseorang ketika dilahirkan
pada kehidupan yang akan datang. Seseorang yang berbuat kejelekan
dengan anggota badannya akan “lahir” sebagai benda mati pada kehidupan
berikutnya, seseorang yang berbuat kejelekan dengan lisannya, akan
menjadi burung atau hewan, sementara orang yang berbuat kejelekan dengan
akan terlahir sebagai kasta terendah.[2]
Maka keyakinan karma inilah yang
menjadi landasan pembagian kasta, bahwasanya setiap kasta merupakan
buah karma pada kehidupan mereka sebelumnya, sehingga tidak ada alasan
bagi kasta yang rendah untuk keberatan, tidak puas atau dengki dengan
kasta yang diatasnya, karena keberadaannya pada kastanya adalah akibat
karmanya sendiri di kehidupan yang lalu. Hukum karma inilah –di sisi
Brahmiyyah- yang menjadi dasar bagi setiap kasta untuk tunduk dan puas
dengan keadaannya.
Agama Buddha pada
asalnya adalah pecahan Hindu dimana pendirinya Sidharta berasal dari
kasta Ksatriya (kasta level 2), dimana dia menyerukan persamaan
kedudukan meniadakan pembedaan kasta. Beda agama Buddha dengan
Brahmiyyah, bahwasanya Brahmiyyah meyakini semua sesembahan (baik berupa
hewan-hewan atau berhala yang merupakan symbol dewa mereka) berkumpul
dalam satu tuhan yang mereka sebut dengan Maha Brahma[3] semua perkara yang terjadi mengikut pada takdir dan ketetapannya. Brahmiyyah meyakini pada setiap benda terdapat atma yaitu zat asal dari Maha Brahma, sehingga tujuan kehidupan mereka adalah Moksha (terkadang disebut juga Nirwana)
yaitu kembali menyatu dengan tuhan mereka sumber segala ruh (keyakinan
Wihdatul Wujud di sisi sufi), sesuai dengan hukum karma dan
reinkarnasi.[4]
Sementara agama Buddha tidak meyakini
itu, mereka berpatokan kepada usaha manusia baik ilmu atau amalan,
karena itulah banyak orang melihat bahwa filsafat tentang adab, akhlak
dan tingkah laku pada agaman Buddha lebih dominan dari perkara
ketuhanan[5].
Mereka meyakini bahwa hukum karma bukanlah tuhan melainkan tempat
berhukum semua yang ada, baik tuhan-tuhan, manusia ataupun selain
mereka.[6] Sementara perjalanan akhir Buddha adalah Nirwana (atau fana’ di kalangan sufi) yaitu kefanaan[7], dimana jiwa sudah terlepas dari segala keinginan dan syahwat sehingga tidak bisa masuk lagi ke siklus reinkarnasi.
Brahmiyyah meyakini pengaturan kasta
berdasar nasab, sementara Buddha mengingkarinya dan berpendapat bahwa
nasab tidak berpengaruh apa-apa, mereka mengembalikan semuanya kepada
usaha dan upaya yang dilakukan oleh manusia, karena itulah untuk
menentang keyakinan Brahmiyyah ini, agama Buddha menolak adanya takdir
dan ketetapan dari tuhan Brahman. Buddha memiliki juga perincian dalam
hukum karma[8], diantaranya:
Orang yang senang menyiksa dan membunuh
binatang. Maka pada kehidupan selanjutnya dia akan hidup sebagai
hewan. Apabila karmanya selesai maka dia (pada kehidupan selanjutnya)
akan bangkit sebagai manusia yang berumur pendek.
Pencuri akan dibangkitkan sebagai roh
jahat atau hewan, jika karmanya selesai maka dia (pada kehidupan
selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang melarat.
Pemabuk akan dibangkitkan sebagai roh
jahat atau hewan, jika karmanya selesai maka dia (pada kehidupan
selanjutnya) akan bangkit sebagai orang gila.
Pezina akan dibangkitkan sebagai roh
jahat atau hewan, jika karmanya selesai maka dia (pada kehidupan
selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang terzholimi
Adapun orang yang ketika hidup tidak
mau mabuk maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai
manusia yang cerdas, dihormati di kalangan manusia. dsb
Jainiyyah adalah
aliran yang muncul sezaman dengan Buddha. Pendirinya juga berasal dari
kasta ksatria sezaman dengan Sidharta. Karena itu dalam kitab-kitab suci
Buddha banyak dimuat perdebatan antara Sidharta dengan para Rahib
Jainiyyah. Adapun karma di sisi Jainiyyah sebagaimana keyakinan agama
Buddha, karena Jainiyyah meyakini bahwa berlangsungnya kehidupan ini
adalah karena karma yang muncul sebab keterkaitan antara ruh dan
materi. Mereka meyakini bahwa ruh dan materi tidak ada penciptanya,
keduanya terdahulu dan ada dengan sendirinya. Ruh-ruh yang bisa selamat
dari siklus reinkarnasi, itulah yang menjadi tuhan bagi mereka.
Namun berbeda dengan agama Buddha,
Jainiyyah meyakini bahwa seluruh kehidupan manusia saat ini adalah buah
dari kehidupan manusia sebelumnya, manusia tidak bisa mengubahnya
sedikitpun. Adapun Buddha meyakini bahwa manusia bisa mengubah
keadaannya pada kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang[9],
sehingga apa yang mereka alami hari ini sebagiannya adalah buah dari
perbuatan mereka dalam kehidupan ini dan sebagiannya merupakan buah dari
perbuatan mereka di kehidupan sebelumnya.
PENDAPAT ADANYA HUKUM KARMA ADALAH PENDAPAT ADANYA REINKARNASI
Keyakinan hukum karma ini berbuah pada
reinkarnasi, karena ketika mereka melihat pada kenyataan bahwa sering
perbuatan manusia tidak terlihat balasannya semasa hidupnya. Seorang
yang zholim bisa saja mati sebelum mendapatkan balasan atas
kezholimannya, demikian juga orang yang beramal kebajikan belum tentu
mendapatkan hasilnya dalam kehidupannya. Karena itulah butuh kepada
“kehidupan-kehidupan” yang banyak, sehingga balasan dapat terpenuhi
jika tidak didapatkan pada kehidupan ini.